Jumat, 27 Mei 2016

Let It Flow..

Let it flow, katanya..
Mungkin itu artinya masih ada waktu season duaku? Masih ada lagi masa-masa tarik ulur yang menggemaskan, tapi sekaligus juga terasa miris? Masih ada lagi nantinya masa-masa dimana aku merindukanmu, dan kamu pun merindukanku? Masih akan ada lagi masa ulangan dimana akan kamu pertanyakan lagi perasaan kasih sayang aku ini tulus atau semu? Atau rasa sayang yang berbeda dari tafsir banyak orang tentang kasih sayang antara laki-laki dan perempuan? Apa masih ada lagi kesempatan bagiku untuk mengulang kejadian yang aku sesali hasilnya? Memperbaiki lagi responku dalam menghadapi tantanganmu untuk menunjukkan bahwa benarkah aku yang menyayangimu lebih dari siapapun? Dan meyakinkanmu bahwa akulah yang benar-benar ada disini untukmu, bukan hanya lewat kata manisku, melainkan juga lewat nyatanya kepedulianku?
Tapi, bisa juga arti dibaliknya sangat berkebalikan dengan persepsiku. Apa aku akan bertemu dengan masa dimana ketakutanku menjadi kenyataan? Dimana jemarimu bergenggaman dengan jemari perempuan lain yang jauh—jauh—lebih sempurna dibandingkan aku? Apa aku akan menyesal sejadi-jadinya karena tidak memperjuangkan seseorang yang seharusnya aku perjuangkan? Dan apakah malah akan tiba saatnya dimana aku menangis seorang diri karenamu dan karena takdir yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa menjadi benar-benar ‘kita’?
Let it flow, pesannya. Aku hanya diminta untuk menjalani semua apa adanya.
Tapi, aku sakit jika harus menunggu lagi abu-abunya masa depan. dan jika ia berkata begitu, maka harus bagaimana aku? Jadi, aku harus menikmati perasaan ini? Menghadapi lagi kesakitanku menunggu seseorang yang sebenarnya aku yakini.. tidak akan bisa menjadi bagian dari ceritaku?
Dan.. lagi-lagi, aku hanya bisa menyalahkan hidupku sendiri.
Kenapa aku sepayah ini? Kenapa aku bukanlah orang hebat yang bisa orang lain bicarakan dengan bangga jika ia mengenalku? Kenapa aku bukanlah siapa-siapa?
Sementara kamu adalah seseorang. Sebenar-benarnya seseorang. Yang harganya jauh diatasku. Yang tempatnya jauh dari jangkauanku. Yang menurutku.. akan tidak adil rasanya jika kamu diberikan seorang aku.
Seandainya jika.. aku cukup berharga.. mungkin aku bisa bertahan dan berjuang.
Tapi, aku tau bahwa.. jodoh kita adalah cerminan pribadi kita. Lantas, aku bisa apa? Sementara takdirku separah ini. Sementara hidupku sekonyol dan sesia-sia ini.
Jadi, aku bisa apa?

Let it flow, katanya..

Rabu, 11 Mei 2016

1.095 Hari

Aku kangen hari itu.
Hari dimana kita masih menjadi dua, tiga, atau bahkan puluhan manusia yang bersahabat dan berikatan dalam ukhuwah Islamiyah. Hari dimana aku masih merasa paling tahu banyak tentangmu, tentang kita. Hari dimana masih saja banyak cerita yang bisa kita bagi dan kita nikmati bersama. Hari dimana aku masih bisa tersenyum lebih tulus dan merangkulmu dengan nyaman tanpa perlu merasa ada yang aneh.
Tapi kini aneh.
Hari lalu, satu dari banyaknya sahabat seperjuanganku yang dulu.. duduk di sampingku, persis seperti beberapa tahun yang lalu. Dengan penampilan kita yang agak berbeda, namun masih dengan nama yang sama, yakni aku dan kamu.
Tapi hari itu, bagiku kita benar-benar berbeda. Aku tidak bisa lagi menceritakan banyak hal dengan nyaman denganmu. Ada rasa asing saat menatapmu lagi. Karena kita sudah berpisah sekian lama.
Tapi sejenak, aku ingin lupa.
Pagi ini, aku hanya ingin melupakan sejenak bahwa hari yang aneh itu pernah ada. Aku hanya ingin mengingat bahwa hanya pernah ada hari-hari selama tiga tahun lamanya, setiap 24 jam selama sehari.. aku bertemu denganmu dan melalui banyak hal menyenangkan bersama. Aku hanya ingin mengingat bahwa kita bersahabat. Membayangkan betapa menyenangkannya jika bertemu lagi denganmu dan bernostalgia tentang kisah lama.
Ingatkah kamu? Teriknya matahari siang Kota Bogor dan es krim trico berwarna-warni yang asik kita santap di tangga aula? Kita punya rahasia berdua dibalik kegiatan itu, kan? Masihkah kamu mengingatnya?
Atau ingatkah kamu saat kita ribut mencari piring untuk mendapatkan lauk-pauk full tanpa perlu merasa kecewa kehabisan makanan? Setiap harinya adalah perjuangan, kan? Dan betapa bangganya kita saat bisa membawa nasi dengan lauknya untuk dimakan berdelapan anak dalam sebuah kamar di asrama Khadijah? Aku masih saja merindukan makanan khas Al-Kahfi.
Ah ya, parahnya.. aku masih ingat bagaimana kita berangkat menuju masjid bersama-sama dengan gegap gempita, penuh canda tawa. Tapi itu saat kita tidak terlambat shalat berjamaah.. lalu, ingat saat kita terlambat bersama? Aku masih ingat saat hampir habisnya nafasku karena berlalu memutari lapangan sehabis shalat yang telat berjamaah satu rakaat. Tapi nafasku habis bukan hanya karena aku berlari, melainkan juga karena kita masih saja sempat bercanda bersama sambil berlari dan tertawa dengan lepasnya. Akan aneh jika 0rang lain kangen berlari karena hukuman. Tapi, aku hari ini, merindukan kegiatan kita itu yang dulu hampir terjadi setiap hari.
Hal lainnya.. aku belum pernah mengatakan ini padamu. Tapi, kamulah yang membuatku terbiasa bangun sebelum shubuh dan mandi agar bisa berangkat ke kelas bersama-sama. Walaupun kita berbeda kelas, namun hampir selalu kita menyempatkan diri berangkat bersama-sama ataupun bertemu bersama dikelas nanti. Aku ingin lagi berusaha untuk selalu bersama denganmu. Karena bersamamu, aku selalu menemukan lagi kenangan manis baru dalam hidup. Hampir setiap harinya.
Ada juga kenangan pahit saat kita saling bermusuhan. Rasanya sulit sekali tidak berbicara dengan seseorang yang 24 jam kita temui, bahkan dalam satu kamar. Dan sedih sekali melihatmu menjauh. Berusaha mencari topik lain dengan orang lain untuk menghindariku. Tapi saat hari ini aku mengenang lagi hari-hari penuh derita itu.. aku bisa tersenyum karena kenangan itu dirasa manis saat ini. Kau tau, betapa anehnya aku. Makanya jangan heran jika hari ini aku mengatakan bahwa aku rindu bermusuhan denganmu.
Banyak sekali hal yang aku rindukan tentang kita. Dan aku tak hanya merindukan hari-hari itu..
“mosvigen”, aku rindu kalian semua.
Tapi tahu diriku mengatakan padaku bahwa kita tidak akan pernah sama lagi. Dan aku menyadarinya secara gamblang saat hari kemarin.. kita duduk berdampingan. Tapi hatiku terasa asing.
Yang tengah duduk berdua ini, benarkah kita? Yang aku panggil namamu itu benarkah kamu? Kenapa rasanya sangat berbeda? Ajaibnya.. aku langsung merasa bahwa tiga tahun penuh bersama 24 jam dalam kamar yang sama.. hanyalah mimpiku. Aku merasa bahwa itu mungkin hanyalah khayalanku. Bahwa kita tidak pernah sedekat itu. bahwa kita tidak pernah senyaman itu bersahabat.
Beginikah tujuan dari perpisahan?
Aku tahu bahwa penyesalan adalah sikap yang buruk. Menyesal adalah tabiat yang salah. Tapi, hari ini—maafkan aku, Tuhan—aku menyesal. Karena berpisah denganmu lebih cepat. Dan berpisah sekian jauhnya. Terlebih.. sebelum aku sempat membuat kenangan manis bersamamu sebanyak-banyaknya di sekolah ajaib itu.
Tapi, aku tidak menyesal pernah bertemu denganmu dan aku tidak menyesal bertemu denganmu lagi dalam situasi semacam itu. jadi, tetap kukatakan terima kasihku atas pertemuan. Karena pertemuan adalah anugrah-Mu yang tidak akan pernah aku abaikan.
Hanya saja.. semoga kita bisa kembali seperti dulu. Bersahabat, selalu bersama, seperjuangan dalam memperjuangkan Jannah-Nya. Dan semoga tidak akan pernah ada lagi hari aneh semacam itu. tidak akan pernah ada lagi keasingan di antara kita.

Aamiin.