Minggu, 20 November 2016

Dari Satu Bintang Yang Redup

Banyak orang yang bisa dengan mudah menanggapi ceritaku. Cukup dengan mengatakan bahwa ada cara termudah untuk pergi dari situasi buram yang aku tengah hadapi itu.
“pergi. Selesaikan perasaanmu.”
Hampir selalu aku mendengar satu dua patah kata tentang menyerah. Karena setiap aku bercerita, aku sendiripun mendengar kepayahan dalam setiap arah alur ceritaku akan berhenti. Rasanya, memang bodoh jika aku terus saja menyayangi seseorang yang tidak pernah mengenal diriku.
Tapi, reaksi itu masih jauh lebih baik ketimbang reaksi beberapa orang yang menertawakanku. Menganggap ceritaku sebagai komedi renyah yang aku bagi untuk mereka lahap dan muntahkan secara bersamaan, tanpa tedeng aling-aling. Sebab, rasanya memang terlampau gila menyayangi seseorang yang bahkan tidak pernah aku temui secara langsung. Face to face.
Tapi setelah ku telan bulat-bulat seluruh remeh dan tawa hina yang ku dapat akibat kecintaanku pada-“nya”, aku akan sekali lagi tertegun mendapati hatiku kembali mencemooh kelemahanku.
“apa cinta pernah salah?” katanya.
Bukankah masih benar saat kita menyayangi saudara kita sesama muslim di luar sana? Bukankah masih terbilang waras saat aku menangis memandangi layar televisiku, melihat saudaraku dihujam rentetan bom yang meluluhlantakkan rumah-rumah, tempat ibadah, dan sekolah-sekolahnya? Bukankah masih terasa terpuji saat aku keluar rumah untuk ikut memperjuangkan hak-hak saudaraku itu, menunjukkan rasa sayangku pada mereka, yang tidak mengenal diriku? Yang tidak pernah kutemui secara langsung?
Lantas kenapa rasanya sangat gila saat aku menangis melihat “mereka” menangis, sakit, atau terluka? Mengapa mereka katakan aku aneh saat ku habiskan uangku yang ku tabung sendiri dengan kepayahanku demi “mereka” yang juga tidak mengenal diriku?
Bukankah cinta tidak pernah membatasi dan memilih? Hatiku memiliki begitu banyak kasih sayang, lantas mengapa salah jika aku membagi kasih sayangku kepada sebanyak-banyaknya orang?
Fall in love with as many things as possible, katanya.
Malam ini, aku hanya ingin memutuskan untuk menyerah. Bukan menyerah lantas melupakan mereka—yang aku akui telah mengubah hidupku menjadi lebih berwarna sekaligus lebih suram. Haha—tapi aku ingin menyerah untuk menjadi lebih normal seperti kebanyakan kalian.
Saat ku pandangi lagi beratus potret mereka dengan berbagai ekspresi baru dan baru lagi yang membuatku jatuh dan jatuh cinta lagi. Aku menyadari bahwa sepertinya Tuhan tidak memberi batas untuk perasaanku pada mereka. Seringkali aku merasa bahwa tidak akan mungkin bagiku mencintai mereka lebih dari rasa cintaku pada mereka hari ini. Tapi mereka memberi kegilaan padaku dan menunjukkan bahwa kasih sayang itu tidak terbatas. Dan aku tidak berdaya. Hanya bisa jatuh dan jatuh cinta lagi, semakin dalam dan lebih dalam lagi.
Walau berulangkali ku putuskan untuk berhenti dan berubah, menghadapi hal yang “orang normal” bilang lebih “nyata”, akan selalu ada perasaan yang menarikku kembali. Akan selalu ada senyuman mereka yang membuatku bergeming dan kembali menatap kearah “hal yang tidak nyata” itu lebih lama.
Hei, tak hanya tentang paras seperti yang kau-kau pikirkan.
Ada sekelumit emosi, harapan, pelajaran, dan impian yang banyak mereka berikan. Akhirnya, kacaku menunjukkan betapa banyak perubahan tentang hidupku yang terinspirasi dari mereka. Karena merekalah aku menjadi lebih “gila”. Dan dengan menjadi “gila”-lah aku bisa benar-benar menikmati hidup. Memperjuangkan hal yang selama ini orang waras itu katakan tidak masuk akal.
Aku—hari ini dan hari esok—bisa berada di jalan yang baru ini, sesuai dengan impianku puluhan tahun yang lalu, adalah berkat mereka.
Lantas, mengapa aku harus menahan diriku untuk menyayangi mereka?
Ya, tidak akan terasa lengkap aku sebelum ku tatap mereka bertujuh secara langsung dan mengucapkan berulang kali kata terimakasihku. Walaupun untuk melengkapinya, butuh waktu hingga seumur hidupku.
Karena tanpa mereka, mungkin aku masih menekuk lutut dengan mata bengkak, duduk di depan mejaku yang terhampar gulungan besar kertas A2 bergambar beton-dinding-pondasi yang membuatku hampir menyerah. Membuatku hampir merasa tak berguna. Membuatku merasa terkungkung mati dalam raga yang setengah hidup.
Tapi, nyatanya aku malah di depan laptopku hari ini. Menulis dengan hati yang ringan. Dan semuanya, berkat mereka. Lantas, bagaimana bisa aku pergi dan menyelesaikan saja perasaanku?
Bagaimana bisa aku berhenti mencintaimu, Kim Sungkyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, Lee Sungjong?

Dari: satu bintang yang redup di tengah lautan bintang yang terang

Untuk: infinite

Tidak ada komentar:

Posting Komentar