Banyak orang yang bisa dengan mudah menanggapi ceritaku. Cukup
dengan mengatakan bahwa ada cara termudah untuk pergi dari situasi buram yang
aku tengah hadapi itu.
“pergi. Selesaikan perasaanmu.”
Hampir selalu aku mendengar satu dua patah kata tentang
menyerah. Karena setiap aku bercerita, aku sendiripun mendengar kepayahan dalam
setiap arah alur ceritaku akan berhenti. Rasanya, memang bodoh jika aku terus
saja menyayangi seseorang yang tidak pernah mengenal diriku.
Tapi, reaksi itu masih jauh lebih baik ketimbang reaksi
beberapa orang yang menertawakanku. Menganggap ceritaku sebagai komedi renyah
yang aku bagi untuk mereka lahap dan muntahkan secara bersamaan, tanpa tedeng
aling-aling. Sebab, rasanya memang terlampau gila menyayangi seseorang yang
bahkan tidak pernah aku temui secara langsung. Face to face.
Tapi setelah ku telan bulat-bulat seluruh remeh dan tawa hina
yang ku dapat akibat kecintaanku pada-“nya”, aku akan sekali lagi tertegun
mendapati hatiku kembali mencemooh kelemahanku.
“apa cinta pernah salah?” katanya.
Bukankah masih benar saat kita menyayangi saudara kita sesama muslim
di luar sana? Bukankah masih terbilang waras saat aku menangis memandangi layar
televisiku, melihat saudaraku dihujam rentetan bom yang meluluhlantakkan
rumah-rumah, tempat ibadah, dan sekolah-sekolahnya? Bukankah masih terasa
terpuji saat aku keluar rumah untuk ikut memperjuangkan hak-hak saudaraku itu,
menunjukkan rasa sayangku pada mereka, yang tidak mengenal diriku? Yang tidak
pernah kutemui secara langsung?
Lantas kenapa rasanya sangat gila saat aku menangis melihat “mereka”
menangis, sakit, atau terluka? Mengapa mereka katakan aku aneh saat ku habiskan
uangku yang ku tabung sendiri dengan kepayahanku demi “mereka” yang juga tidak
mengenal diriku?
Bukankah cinta tidak pernah membatasi dan memilih? Hatiku memiliki
begitu banyak kasih sayang, lantas mengapa salah jika aku membagi kasih
sayangku kepada sebanyak-banyaknya orang?
Fall in love with as many
things as possible, katanya.
Malam ini, aku hanya ingin memutuskan untuk menyerah. Bukan menyerah
lantas melupakan mereka—yang aku akui telah mengubah hidupku menjadi lebih
berwarna sekaligus lebih suram. Haha—tapi aku ingin menyerah untuk menjadi
lebih normal seperti kebanyakan kalian.
Saat ku pandangi lagi beratus potret mereka dengan berbagai
ekspresi baru dan baru lagi yang membuatku jatuh dan jatuh cinta lagi. Aku menyadari
bahwa sepertinya Tuhan tidak memberi batas untuk perasaanku pada mereka. Seringkali
aku merasa bahwa tidak akan mungkin bagiku mencintai mereka lebih dari rasa
cintaku pada mereka hari ini. Tapi mereka memberi kegilaan padaku dan
menunjukkan bahwa kasih sayang itu tidak terbatas. Dan aku tidak berdaya. Hanya
bisa jatuh dan jatuh cinta lagi, semakin dalam dan lebih dalam lagi.
Walau berulangkali ku putuskan untuk berhenti dan berubah,
menghadapi hal yang “orang normal” bilang lebih “nyata”, akan selalu ada
perasaan yang menarikku kembali. Akan selalu ada senyuman mereka yang membuatku
bergeming dan kembali menatap kearah “hal yang tidak nyata” itu lebih lama.
Hei, tak hanya tentang paras seperti yang kau-kau pikirkan.
Ada sekelumit emosi, harapan, pelajaran, dan impian yang
banyak mereka berikan. Akhirnya, kacaku menunjukkan betapa banyak perubahan
tentang hidupku yang terinspirasi dari mereka. Karena merekalah aku menjadi
lebih “gila”. Dan dengan menjadi “gila”-lah aku bisa benar-benar menikmati
hidup. Memperjuangkan hal yang selama ini orang waras itu katakan tidak masuk
akal.
Aku—hari ini dan hari esok—bisa berada di jalan yang baru ini,
sesuai dengan impianku puluhan tahun yang lalu, adalah berkat mereka.
Lantas, mengapa aku harus menahan diriku untuk menyayangi
mereka?
Ya, tidak akan terasa lengkap aku sebelum ku tatap mereka
bertujuh secara langsung dan mengucapkan berulang kali kata terimakasihku. Walaupun
untuk melengkapinya, butuh waktu hingga seumur hidupku.
Karena tanpa mereka, mungkin aku masih menekuk lutut dengan
mata bengkak, duduk di depan mejaku yang terhampar gulungan besar kertas A2
bergambar beton-dinding-pondasi yang membuatku hampir menyerah. Membuatku hampir
merasa tak berguna. Membuatku merasa terkungkung mati dalam raga yang setengah
hidup.
Tapi, nyatanya aku malah di depan laptopku hari ini. Menulis dengan
hati yang ringan. Dan semuanya, berkat mereka. Lantas, bagaimana bisa aku pergi
dan menyelesaikan saja perasaanku?
Bagaimana bisa aku berhenti mencintaimu, Kim Sungkyu, Jang
Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, Lee Sungjong?
Dari: satu bintang yang redup di tengah lautan bintang yang
terang
Untuk: infinite
Tidak ada komentar:
Posting Komentar