Hampir tiga
tahun silam, aku masih menekuk lutut dalam kegelapan di kamar sempitku yang
sesak. Padahal tak ramai. Hanya ada aku serta bertumpuk kertas gambar beraneka
jenis dan ukuran, yang kesemuanya sudah habis kucoreti oleh denah gagalku.
Aku membekap
diri sambil menghela nafas berulang kali dan pada setiap hembusnya, air mataku
jatuh. Menitik secara dramatis.
Lalu lagi-lagi,
aku akan dengan kasar membuang lembaran kertasku dan beralih pada buku mungil
dan bolpoin kesayanganku, hanya untuk menulis.
Bukan dengan
rotring, tinta, pensil mekanik 0.7 HB, penggaris 100 cm, kertas gambar A2,
serta alat lainnya yang biasa kugunakan untuk menggambar. aku hanya butuh
secarik kertas kecil dengan bolpoin sederhana untuk menjadi bahagia.
Meski, rasanya
tetap salah.
Mei 2015.
Aku menemukan
tujuh orang hebat—INFINITE—yang aku sayangi hingga hari ini. Satu di antaranya
punya kisah menarik yang ia bagi.
Lee Howon
mengajariku tentang asa. Saat mendengar ceritanya mengenai bagaimana ia
dihapuskan Namanya dari pohon keluarga karena memilih untuk mengejar impiannya,
meski beberapa kali dipukuli oleh kayu bahkan ketika bekunya suhu di musim
bersalju, dengan baju basah karena keringat—bukti betapa kerasnya ia berlatih,
hingga dengan berani memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya hanya
karena ingin fokus belajar menari dan bernyanyi, aku terkesiap.
Jujur, aku
merinding.
Menilai betapa
anehnya manusia satu ini. Memikirkan bagaimana bisa seseorang tetap hidup
setelah menjalani keputusan seberat itu ditambah dengan konsekuensi dalam paket
yang sama dengan pilihan hidupnya. Dan telak, aku lantas membandingkan
situasinya dengan diriku di waktu itu.
Aku ingin
menjadi seorang Lee Howon—yang berani mengejar dan berhasil menggapai impiannya
meski tak ayal diterpa gunjingan, dianggap egois, dan menjadi “orang jahatnya”
akibat asanya sendiri. Ia tetap teguh tak karam meski dikecilkan, dibuang, dan
dianggap tak ada bahkan oleh ayahnya sendiri… hanya karena ingin bahagia.
Aku ingin
menjadi seperti seorang Lee Howon.
9 Juni 2015.
He said, that, “The average person dies at 25, but is buried
at 70.”
Kakakku pernah
bilang bahwa impian, harapan, cita-cita, atau asa, adalah hal yang membuat
manusia dapat dikatakan “hidup”. Then it
feels so clicked. Aku langsung memahami bahwa makna dari ucapan Howon
mengenai kematian di usia 25 tahun adalah bukan kematian sesungguhnya.
Kebanyakan atau
rata-rata manusia akan berhenti bermimpi pada usia 25 tahun. Mereka berhenti
untuk menjadi “naif” dan memilih untuk lebih realistis ketika menginjak usia
tersebut. Yang artinya, mereka sudah tidak punya impian apapun selain “mencari
posisi aman” agar tetap “hidup” seadanya. Dan mereka akan benar-benar mati saat
sekitar usia 70 tahun. Jangka waktu yang panjang untuk menjadi kritis sebelum
memeluk kematian yang sebenarnya.
And he said, “I wanted to say this because I am 25 now. I
personally hope I wouldn’t die before I get buried. I am talking about my dreams and passion.”
Ucapan itu
membuatku terhenyak karena sungguh, kata-katanya menamparku begitu keras. Sebab
aku ini siapa? Aku adalah seseorang yang telah mati dalam usia yang lebih muda
dari 25 tahun, saat itu. Aku telah kehilangan impian dan kecintaanku hanya
untuk menjadi realistis dan membahagiakan orang lain.
Sungguh, aku
telah menjadi egois pada diriku sendiri.
Maka, Agustus 2016.
Lee Howon
memberiku inspirasi, motivasi, sekaligus kekuatan. Kuputar ulang seluruh
kisahnya dalam setiap langkah berani yang mulai kuambil untuk mengubah hidupku
yang hampir mati tanpa tujuan berarti. Kutanamkan segala keberanian yang
mungkin juga pernah ia genggam erat sebelum mengambil sebuah keputusan besar
untuk menjadi “egois”, untuk meraih cita-citanya. Aku pergi secara tahap per
tahap dari jalan hidup yang tidak aku harapkan.
Butuh waktu satu
tahun bagiku untuk menjadi benar-benar yakin. Tapi setiap harinya, Lee Howon
telah memberikan cahaya baru dalam hidupku.
Hingga akhirnya,
berhasil kubuang segala hal yang berbau “gambar”, kubekap segala hal yang
berbau “tulisan”. Seolah membuka kembali tiap lembar catatan mengenai asaku
yang sempat kukubur dalam-dalam.
Lee Howon
menguatkanku.
28 Agustus 2016.
Things will never get any better until I found what I really
want for my life.
Hari-hari
berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sudah berlalu dua tahun lamanya menjadi aku
sebagai seorang mahasiswa jurusan Arsitektur. Melewati tahun kedua yang penuh
dengan drama saat semuanya terasa salah karena aku melangkah semakin jauh dari
tujuanku yang asli. Setiap harinya hanya ada penyesalan dan tak ayal, saat
semuanya terasa begitu salah dan kita tetap harus menjalani hidup… aku pun
pernah menjadi “mati” pada dua tahun terakhir itu.
Dan jika kembali
mengenang hari-hari dramatis yang kulalui selama setahun belakangan… aku masih
saja menangis seorang diri lagi. Di kamar yang sama.
Tapi hari ini,
aku telah berani menganggapnya sebagai sebuah kenangan. Dan aku termangu
sejenak setelah menyaksikan lagi masa-masa tersuram dalam hidupku saat
merenung. Perlahan, kupegang penaku, kurapatkan tubuhku menuju meja kerjaku,
dan memandangi kertas kecil berwarna putih untuk menulis.
Ya, aku menulis.
Melakukan
satu-satunya hal yang paling aku cintai tanpa mengindahkan ketakutanku lagi. You know, Lee Howon mengajariku bahwa…
“As you get older, you begin to realize that
there are many other things which you should be prioritized beside your dreams.
It is okay to admit your defeat. It is okay to lessen your
dreams. Be more realistic. Because that is the part of maturity.
But, don’t give up on it!
If it’s something important that called dreams, then don’t
lose it!
Because dream is the part of yourself. Dream is the
depiction of who you are and who you want to be.”
Setelah melalui
masalah terbesar dan terberat dalam hidupku dan telah menyelesaikannya dengan
keputusan yang berani, perlahan aku dapat mulai mengapresiasi diri dan merasa
percaya akan kebaikan Tuhan. Aku mencintai keputusanku dengan segala
konsekuensi yang menungguku. Dan aku bangga pada diriku yang bisa bangkit dan
bersyukur.
Semua itu karena
Lee Howon—dan enam orang lainnya, yakni Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun,
Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong.
Oleh karena itulah, pada Agustus
2017.
Howon-ah,
August 30,
to be exact. Aku tahu, entah mengapa
aku tahu. Setelah hiatus hampir setahun lamanya, aku selalu tahu hari itu aku
datang. Hari di mana konfirmasi agensi atas kepergianmu dari INFINITE, pasti
akan tiba. Aku selalu mendapatkan firasat mengenai segala hal yang berkaitan
dengan kalian bertujuh. Dan aku benar.
Lantas, aku bisa
apa?
Aku hanya
menangis selama tiga hari lamanya. Tepatnya, tiga hari terakhir sebelum hari
kuliah pertamaku di semester tiga sebagai mahasiswa jurusan Sastra.
Tapi, lagi, aku
bisa apa?
Aku ingin tetap
memanggilmu sebagai “INFINITE’s Hoya”.
Dua tahun telah berlalu sejak kali pertama aku jatuh hati padamu. Dan
saat itu, aku sudah tidak mencintaimu lagi hanya sebagai “member” INFINITE. Aku
menyayangi setiap member sebagai seorang Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam
Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong. Jadi, aku
bisa apa selain tetap mencintaimu hingga hari ini?
Sebab aku yang
paling tahu, aku yang paling memahami. Aku pernah mengambil keputusan yang
sama, dan aku yang paling mengerti rasanya. Bahwa mengambil keputusan seberat
itu, bukanlah sesuatu yang mudah. Bahwa ada banyak kekhawatiran dan pengorbanan
yang pasti merundungimu dan kau lakukan pada tiap waktu sebelum eksekusi
terakhir itu. Bahwa tidak benar dan tidak adil rasanya jika aku menilaimu
sebagai seseorang yang telah membuang aku—sebagai fans—hanya karena kamu ingin
menjadi benar-benar bahagia.
Ada konsekuensi
baru yang menanti, ada jalan buram yang belum kau adaptasi. Tapi, kau memilih
untuk keluar dari posisi yang telah kau kerjakan sepenuh hati tanpa pernah
mengecewakan kami (Inspirit) selama tujuh lamanya, keluar dari posisi yang
telah memberimu rasa aman dan menawarkan stabilitas yang menggiurkan. Itu buruk;
itu perasaan paling membingungkan dan menyesakkan. Dan akan egois rasanya jika
aku mengasumsikan niatanmu.
Satu per satu
pro dan kontra silih berganti kusaksikan, perlahan kusangsikan. Akhirnya, aku
tidak peduli lagi.
Aku tahu kau
ingin menjadi bahagia. Kau melakukan sebuah tindak keberanian lagi, dan aku
bangga padamu. Jadi, Howon-ah, kuputuskan untuk memahamimu karena akulah yang
seharusnya paling mengerti. Tetaplah berkarya, jadilah dirimu sendiri.
Berbahagialah. Aku di sini akan terus mendukungmu, persis seperti apa yang
telah kau lakukan padaku dan untukku selama tiga tahun ini setelah aku
mengenalmu.
Apa yang
kulakukan ini, tidak akan sebanding dengan pengaruhmu yang begitu besar dalam
mengubah hidupku.
Tapi, aku tidak
akan berhenti untuk percaya dan bangga padamu.
Selamanya.