Rabu, 09 Mei 2018

INFINITE OT7 Part II


Hampir tiga tahun silam, aku masih menekuk lutut dalam kegelapan di kamar sempitku yang sesak. Padahal tak ramai. Hanya ada aku serta bertumpuk kertas gambar beraneka jenis dan ukuran, yang kesemuanya sudah habis kucoreti oleh denah gagalku.
Aku membekap diri sambil menghela nafas berulang kali dan pada setiap hembusnya, air mataku jatuh. Menitik secara dramatis.
Lalu lagi-lagi, aku akan dengan kasar membuang lembaran kertasku dan beralih pada buku mungil dan bolpoin kesayanganku, hanya untuk menulis.
Bukan dengan rotring, tinta, pensil mekanik 0.7 HB, penggaris 100 cm, kertas gambar A2, serta alat lainnya yang biasa kugunakan untuk menggambar. aku hanya butuh secarik kertas kecil dengan bolpoin sederhana untuk menjadi bahagia.
Meski, rasanya tetap salah.
Mei 2015.
Aku menemukan tujuh orang hebat—INFINITE—yang aku sayangi hingga hari ini. Satu di antaranya punya kisah menarik yang ia bagi.
Lee Howon mengajariku tentang asa. Saat mendengar ceritanya mengenai bagaimana ia dihapuskan Namanya dari pohon keluarga karena memilih untuk mengejar impiannya, meski beberapa kali dipukuli oleh kayu bahkan ketika bekunya suhu di musim bersalju, dengan baju basah karena keringat—bukti betapa kerasnya ia berlatih, hingga dengan berani memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya hanya karena ingin fokus belajar menari dan bernyanyi, aku terkesiap.
Jujur, aku merinding.
Menilai betapa anehnya manusia satu ini. Memikirkan bagaimana bisa seseorang tetap hidup setelah menjalani keputusan seberat itu ditambah dengan konsekuensi dalam paket yang sama dengan pilihan hidupnya. Dan telak, aku lantas membandingkan situasinya dengan diriku di waktu itu.
Aku ingin menjadi seorang Lee Howon—yang berani mengejar dan berhasil menggapai impiannya meski tak ayal diterpa gunjingan, dianggap egois, dan menjadi “orang jahatnya” akibat asanya sendiri. Ia tetap teguh tak karam meski dikecilkan, dibuang, dan dianggap tak ada bahkan oleh ayahnya sendiri… hanya karena ingin bahagia.
Aku ingin menjadi seperti seorang Lee Howon.
9 Juni 2015.
He said, that, “The average person dies at 25, but is buried at 70.”
Kakakku pernah bilang bahwa impian, harapan, cita-cita, atau asa, adalah hal yang membuat manusia dapat dikatakan “hidup”. Then it feels so clicked. Aku langsung memahami bahwa makna dari ucapan Howon mengenai kematian di usia 25 tahun adalah bukan kematian sesungguhnya.
Kebanyakan atau rata-rata manusia akan berhenti bermimpi pada usia 25 tahun. Mereka berhenti untuk menjadi “naif” dan memilih untuk lebih realistis ketika menginjak usia tersebut. Yang artinya, mereka sudah tidak punya impian apapun selain “mencari posisi aman” agar tetap “hidup” seadanya. Dan mereka akan benar-benar mati saat sekitar usia 70 tahun. Jangka waktu yang panjang untuk menjadi kritis sebelum memeluk kematian yang sebenarnya.
And he said, “I wanted to say this because I am 25 now. I personally hope I wouldn’t die before I get buried.  I am talking about my dreams and passion.”
Ucapan itu membuatku terhenyak karena sungguh, kata-katanya menamparku begitu keras. Sebab aku ini siapa? Aku adalah seseorang yang telah mati dalam usia yang lebih muda dari 25 tahun, saat itu. Aku telah kehilangan impian dan kecintaanku hanya untuk menjadi realistis dan membahagiakan orang lain.
Sungguh, aku telah menjadi egois pada diriku sendiri.
Maka, Agustus 2016.
Lee Howon memberiku inspirasi, motivasi, sekaligus kekuatan. Kuputar ulang seluruh kisahnya dalam setiap langkah berani yang mulai kuambil untuk mengubah hidupku yang hampir mati tanpa tujuan berarti. Kutanamkan segala keberanian yang mungkin juga pernah ia genggam erat sebelum mengambil sebuah keputusan besar untuk menjadi “egois”, untuk meraih cita-citanya. Aku pergi secara tahap per tahap dari jalan hidup yang tidak aku harapkan.
Butuh waktu satu tahun bagiku untuk menjadi benar-benar yakin. Tapi setiap harinya, Lee Howon telah memberikan cahaya baru dalam hidupku.
Hingga akhirnya, berhasil kubuang segala hal yang berbau “gambar”, kubekap segala hal yang berbau “tulisan”. Seolah membuka kembali tiap lembar catatan mengenai asaku yang sempat kukubur dalam-dalam.
Lee Howon menguatkanku.
28 Agustus 2016.
Things will never get any better until I found what I really want for my life.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sudah berlalu dua tahun lamanya menjadi aku sebagai seorang mahasiswa jurusan Arsitektur. Melewati tahun kedua yang penuh dengan drama saat semuanya terasa salah karena aku melangkah semakin jauh dari tujuanku yang asli. Setiap harinya hanya ada penyesalan dan tak ayal, saat semuanya terasa begitu salah dan kita tetap harus menjalani hidup… aku pun pernah menjadi “mati” pada dua tahun terakhir itu.
Dan jika kembali mengenang hari-hari dramatis yang kulalui selama setahun belakangan… aku masih saja menangis seorang diri lagi. Di kamar yang sama.
Tapi hari ini, aku telah berani menganggapnya sebagai sebuah kenangan. Dan aku termangu sejenak setelah menyaksikan lagi masa-masa tersuram dalam hidupku saat merenung. Perlahan, kupegang penaku, kurapatkan tubuhku menuju meja kerjaku, dan memandangi kertas kecil berwarna putih untuk menulis.
Ya, aku menulis.
Melakukan satu-satunya hal yang paling aku cintai tanpa mengindahkan ketakutanku lagi. You know, Lee Howon mengajariku bahwa…
As you get older, you begin to realize that there are many other things which you should be prioritized beside your dreams.
It is okay to admit your defeat. It is okay to lessen your dreams. Be more realistic. Because that is the part of maturity.
But, don’t give up on it!
If it’s something important that called dreams, then don’t lose it!
Because dream is the part of yourself. Dream is the depiction of who you are and who you want to be.
Setelah melalui masalah terbesar dan terberat dalam hidupku dan telah menyelesaikannya dengan keputusan yang berani, perlahan aku dapat mulai mengapresiasi diri dan merasa percaya akan kebaikan Tuhan. Aku mencintai keputusanku dengan segala konsekuensi yang menungguku. Dan aku bangga pada diriku yang bisa bangkit dan bersyukur.
Semua itu karena Lee Howon—dan enam orang lainnya, yakni Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong.
Oleh karena itulah, pada Agustus 2017.
Howon-ah,
August 30, to be exact. Aku tahu, entah mengapa aku tahu. Setelah hiatus hampir setahun lamanya, aku selalu tahu hari itu aku datang. Hari di mana konfirmasi agensi atas kepergianmu dari INFINITE, pasti akan tiba. Aku selalu mendapatkan firasat mengenai segala hal yang berkaitan dengan kalian bertujuh. Dan aku benar.
Lantas, aku bisa apa?
Aku hanya menangis selama tiga hari lamanya. Tepatnya, tiga hari terakhir sebelum hari kuliah pertamaku di semester tiga sebagai mahasiswa jurusan Sastra.
Tapi, lagi, aku bisa apa?
Aku ingin tetap memanggilmu sebagai “INFINITEs Hoya”.  Dua tahun telah berlalu sejak kali pertama aku jatuh hati padamu. Dan saat itu, aku sudah tidak mencintaimu lagi hanya sebagai “member” INFINITE. Aku menyayangi setiap member sebagai seorang Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong. Jadi, aku bisa apa selain tetap mencintaimu hingga hari ini?
Sebab aku yang paling tahu, aku yang paling memahami. Aku pernah mengambil keputusan yang sama, dan aku yang paling mengerti rasanya. Bahwa mengambil keputusan seberat itu, bukanlah sesuatu yang mudah. Bahwa ada banyak kekhawatiran dan pengorbanan yang pasti merundungimu dan kau lakukan pada tiap waktu sebelum eksekusi terakhir itu. Bahwa tidak benar dan tidak adil rasanya jika aku menilaimu sebagai seseorang yang telah membuang aku—sebagai fans—hanya karena kamu ingin menjadi benar-benar bahagia.
Ada konsekuensi baru yang menanti, ada jalan buram yang belum kau adaptasi. Tapi, kau memilih untuk keluar dari posisi yang telah kau kerjakan sepenuh hati tanpa pernah mengecewakan kami (Inspirit) selama tujuh lamanya, keluar dari posisi yang telah memberimu rasa aman dan menawarkan stabilitas yang menggiurkan. Itu buruk; itu perasaan paling membingungkan dan menyesakkan. Dan akan egois rasanya jika aku mengasumsikan niatanmu.
Satu per satu pro dan kontra silih berganti kusaksikan, perlahan kusangsikan. Akhirnya, aku tidak peduli lagi.
Aku tahu kau ingin menjadi bahagia. Kau melakukan sebuah tindak keberanian lagi, dan aku bangga padamu. Jadi, Howon-ah, kuputuskan untuk memahamimu karena akulah yang seharusnya paling mengerti. Tetaplah berkarya, jadilah dirimu sendiri. Berbahagialah. Aku di sini akan terus mendukungmu, persis seperti apa yang telah kau lakukan padaku dan untukku selama tiga tahun ini setelah aku mengenalmu.
Apa yang kulakukan ini, tidak akan sebanding dengan pengaruhmu yang begitu besar dalam mengubah hidupku.
Tapi, aku tidak akan berhenti untuk percaya dan bangga padamu.
Selamanya.

INFINITE OT7


Bathed in golden light, INFINITE’s fandom is in spirit with the seven members, from here to the end of time. -Billboard’s caption

Kenapa aku sukamencintai INFINITE?
Pertama dan utama, aku mencintai mereka karena mereka adalah Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong.
Itu artinya, aku tidak akan bertahan jika mereka hanya berenam, berlima, dan seterusnya. Jika salah satu atau dua dari mereka memutuskan untuk keluar dari INFINITE, kupikir, itulah hari dimana aku memutuskan untuk keluar juga dari dunia perkpop-an ini.
Sebab aku mencintai mereka sebagai tujuh warna yang berbeda, so different yet fitting perfectly on each others. Dengan tujuh pesona, tujuh karakter, tujuh pemikiran, dan tujuh cerita yang berbeda mereka menjadi lengkap.

Kenapa aku mencintai INFINITE?
Jika ditanya begitu, aku akan mengingat waktu hampir tiga tahun silam disaat temanku mengenalkanku pada Kpop. Waktu itu, ia memperlihatkan salah satu boyband favoritnya yang sedang booming padaku dan kesanku adalah oh, they seems perfect. Bunch of handsome people who can dance well and pretty cool af, but so why?? Mereka tampan, lalu kenapa? Aku merasa mereka membosankan.
But nevertheless, aku tetap ditarik untuk menjadi suka dan mencari tahu seputar Korean Entertainment. Aku menyukai Runningman dan ketika beberapa waktu aktif menonton setiap episodenya dari awal hingga episode terbaru, aku menemukan seseorang yang membawaku pada INFINITE. I found someone named Kim Myungsoo.
Iseng-iseng, aku mencari tahu tentang Myungsoo atau L INFINITE dan melihat member lainnya. Menemukan fakta bahwa mereka adalah grup pertama yang berhasil terkenal dari agensi kecil, dan mereka menjadi sukses berkat kualitas dan usahanya. Hal itu menginspirasi sekaligus memotivasiku yang saat itu tengah hampir menyerah meraih impianku untuk menjadi seorang penulis. Perlahan, aku pun jatuh cinta.
Itulah yang banyak orang katakan sebagai “takdir”.
Aku mulai mencintai mereka dengan melalui banyak hal baik dan buruk, melalui masa dibahagiakan dan disakiti, kemudian melewati masa menemukan dan kehilangan.

30 Agustus 2017.
Setelah INFINITE hiatus panjang yang penuh dengan drama mengenai pro dan kontra interfandom, melalui masa di mana firasat buruk menggelayuti pikiranku yang hampir putus asa dan mulai membenci agensi tempat INFINITE bernaung, they dropped the bomb.
Hoya’s departure was officially announced.
The 7-year curse they dont make it.
Setelah itu, aku mempersiapkan diri untuk pergi. Aku membenci Howon beserta keputusannya. Aku membenci keadaan yang memaksanya untuk mengambil keputusan itu. Aku membenci Woollim yang menjadikan keadaan itu terjadi. Dan aku membenci INFINITE yang tidak dapat bertahan.
Tapi, kalian tahu, bahwa cinta adalah hal paling mandiri yang tidak bisa dipaksa untuk datang, pun untuk pergi. Sama seperti perasaanku selama dua tahun saat itu, setelah mulai menyukai INFINITE. Aku tidak bisa benar-benar membenci mereka.

Maka, 6 September 2017.
Setelah berbulan-bulan, aku memikirkan segala hal mengenai INFINITEterutama tentang Hoya yang sudah sempat kuperkirakan kepergiaannya, aku menyerah untuk menemukan jawab dari setiap tanyaku mengenai keputusan itu. Aku tahu bahwa ada beberapa hal yang memang semestinya tidak akan pernah terjawab, ada hal yang tidak bisa kuketahui karena keterbatasanku, dan ada pertanyaan yang jawabannya adalah “tidak ada jawaban”. Jadi, ketika aku mendengarkan kembali suara Hoya, aku tidak menemukan jawaban apapun selain rasa dan pengertian. Suaranya, lagunya, mengantarkanku pada apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. Mengenai permohonan maafnya, keputusannya, dan usahanya untuk meyakinkankuserta Inspirit lainnyauntuk percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Remember, for these past 7 years he didn’t do anything wrong, never done any scandal, nor bad attitude, nor any negative things. He always does his best for INFINITE and Inspirit.
Aku mengingat kembali tentang jasa Hoya saat ia menciptakan scorpion dance yang melegenda dan menjadi ikon INFINITE dari sejak debut hingga saat ini. Aku teringat tentang pengakuan member lain mengenai bagaimana kerasnya Hoya berusaha dan seringkali melalui jam latihan yang lebih lama dua kali lipat dari member lainnya. Aku juga mengingat saat Dongwoo harus menghentikan kekhawatirannya ketika ia cidera parah, Back era. Dan semua member juga mendukungnya.
Ia selalu memberikan yang terbaik dan menyelesaikan segala kewajibannya dalam kontrak yang telah ia tanda tangani selama 7 tahun silam, meski diterpa kegalauan beberapa tahun terakhir hingga memutuskan untuk pergi. Sampai akhir, ia selalu memberikan yang terbaik.
Jadi, meski gunjingan banyak menerpa, asumsi kosong nan egois dari interfandom sendiri silih berganti kusaksikan dan kucoba untuk sangsikan, aku bertekad untuk tetap mendukung INFINITE OT7. Bukan sebagai Inspirit, sebuah fandom yang menyukai enam orang laki-laki. Bukan sebagai Holy, sebuah fandom yang menyukai seseorang laki-laki. Aku bukan seseorang yang berasal dari fandom mana pun tapi aku mencintai Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong dengan segenap daya dan upayaku.

Jadi, teruntuk INFINITE yang kutahu beranggotakan tujuh member
Sunggyu, seandainya kamu yang pergi, aku tidak akan menyerah tentangmu. Karena kamu adalah seseorang yang mengajariku bahwa, “jika kamu mencintai sesuatu, peganglah dengan erat dan jangan lepaskan”.
Dongwoo, seandainya kamu yang pergi, aku tidak akan membencimu. Karena kamu adalah seseorang yang mengajariku untuk senantiasa menjadi seseorang yang rendah hati dan baik hati. Always keep the distance towards every bad things and keep your positive mind.
Woohyun, seandainya kamu yang pergi, aku tidak akan meninggalkanmu. Karena kamu adalah seseorang yang berhati lembut yang mudah terenyuh. Dan kamu telah mengajariku untuk mengapresiasi setiap momen dengan bahagia.
Sungyeol, seandainya kamu yang pergi, aku tidak akan marah padamu. Karena kamu adalah seseorang yang mengajariku untuk selalu menikmati setiap hal kecil layaknya seorang chodding yang mudah disenangi.
Myungsoo, seandainya kamu yang pergi, aku tidak akan berhenti mencintaimu. Karena kamu adalah orang yang mengenalkanku pada INFINITE. Memberiku banyak alasan untuk tertawa dan bahagia selama tiga tahun terakhir ini. Selain itu, kamu adalah seseorang yang mengajariku untuk terus teguh mengejar impian dan selalu fokus pada impian tersebut.
Sungjong, seandainya kamu yang pergi, tentu saja aku akan menjadi seorang fans yang samatetap mendukungmu tanpa mempedulikan apapun yang terjadi. Karena kamu memberiku banyak waktu berharga mengenai kebahagiaan dan aku akan memberikan hal yang sama untukmu. Just like what you asked me to do. To always support you and INFINITE no matter what.
Jadi, Howon-ah ketika kamu pergi, aku akan tetap menjadi seorang aku seperti selama ini. Karena kamu mengajariku untuk mengejar impianku menjadi seorang penulis (dan impian lainnya) hingga memotivasiku untuk terus berdiri di tempat ini kemarin, hari ini, dan setiap harinya dimasa yang akan datang. And I am so thankful of that. Really.

Aku akan tetap menjadi seorang fans Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong hingga akhir.

Because you guys will always become seven in my heart.

Sabtu, 26 November 2016

Langkah Kedewasaan

Dari: Mufidah Nur Azizah
Untuk: Bunda Helvy Tiana Rosa

Bismillah…
Assalamu’alaikum Bunda Helvy.
Sebelum menyampaikan beberapa patah kata mengenai hidup versi Saya, Saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Bunda, nama saya Mufidah Nur Azizah atau yang sahabat-sahabat dekat saya biasa panggil dengan sebutan Upit. Tapi, sekarang Saya hampir selalu memperkenalkan diri Saya dengan nama Mufi. Saya lahir di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1996. Jadi, kini Saya hampir genap berusia 20 tahun.
Secara umum, sifat Saya dapat dijabarkan sebagai anak yang pemalas, menggampangkan segala urusan, sangat berketergantungan pada orang lain, sensitif, dan jarang sekali serius memikirkan masa depan Saya. Hidup berkecukupan dan perlakuan orangtua terhadap Saya membuat Saya terlena. Saya punya impian, tapi Saya tidak pernah benar-benar memperjuangkannya di luar kepala. Ya, saya hanya sibuk bermimpi. Saya sibuk bervisi sampai tidak pernah Saya susun misi untuk meraih visi tersebut, apalagi melaksanakannya.
Impian Saya hanyalah satu. Saya hanya ingin menjadi seorang penulis. Tapi, saat kedua orangtua Saya menentangnya, Saya terlalu manut dan lantas menurut. 2014 saat saya lulus dari SMA dan mencari perguruan tinggi, Ayah menyetir Saya agar Saya masuk ke jurusan arsitektural di sebuah kampus swasta di Jakarta. Saat itu, sempat Saya menolak dan menyampaikan keinginan Saya untuk masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Namun, ucapan Ayah yang merendahkan jurusan itu lantas menyiutkan nyali Saya hanya dalam hitungan menit. Hingga akhirnya Saya mengiyakan keinginan Ayah saya dan resmi menjadi seorang mahasiswa jurusan arsitektur.
Tanpa kemauan, tanpa kecintaan, tanpa tujuan yang pasti, dan dengan penuh keterpaksaan Saya menjalani kisaran 2 tahun potong masa dalam hidup Saya dijurusan arsitektur.
Tapi ternyata, arsitektur sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Ditahun pertama pun, Saya sudah merasa hampir putus asa dan goyah. Ucapan-ucapan dari para dosen dan senior pun terus menghantui Saya. Mereka terus-menerus mewanti-wanti Saya untuk secepatnya keluar dari jurusan itu karena mereka tau persis dalih Saya untuk masuk ke jurusan itu sangatlah lemah. Hanya karena ayah Saya menginginkannya.
Lalu, ketika mulai akhir tahun 2015, Saya semakin kacau karena semakin jauhnya hidup Saya dari harapan Saya sendiri. Terasa sangat begitu sulitnya untuk menjadi diri sendiri dan mencintai impian Saya sendiri. Kata-kata penghibur dari saya dan untuk saya sendiri seperti, “pokoknya lo lulus aja secepatnya. Setelah lulus, lo bebas jadi penulis.” Itu mulai tidak bekerja. Saya semakin gelisah karena terlepas dari impian Saya yang berbeda dengan studi Saya, Saya pun mulai mengkhawatirkan cara Saya untuk lulus. Saya mulai meragukan kemampuan Saya sendiri karena setelah tiga semester—mengambil cukup banyak mata kuliah mengenai arsitektural—Saya tetap merasa payah dan tidak bisa apa-apa dibandingkan teman-teman Saya di arsitektur. Saya semakin tidak percaya diri dan kehilangan identitas diri.
Masa itu merupakan masa jatuhnya Saya yang paling dalam selama 20 tahun Saya hidup. Karena Saya terjebak sendiri disebuah dunia yang asing dan tidak Saya inginkan. Namun, Saya sangat tidak berdaya karena telah terlanjur memikul amanat orangtua untuk menjadi anak yang sukses. Mereka secara konsisten menanyakan perkembangan Saya di arsitektur dan membuat Saya menumpuk kebohongan-kebohongan serta topeng-topeng yang semakin lama semakin membuat Saya membenci diri saya sendiri. saya ingin mencurahkan keluh kesah Saya kepada siapapun, tapi dimasa itu.. Saya menyadari bahwa Saya benar-benar seorang diri. Banyaknya sahabat-sahabat saya yang dulu setia di samping Saya dan mendukung Saya membuat saya menganggap remeh setiap masalah. Tapi, saat satu persatu mereka mulai pergi dan punya masalah masing-masing.. Saya mulai menyadari bahwa Saya benar-benar sendiri dan tidak bisa lagi bergantung kepada siapapun.
Menulis, satu-satunya kebanggaan rahasia yang Saya cintai itu—mulai menjadi pelarian saat Saya sedang jatuh karena masalah-masalah di arsitektur. Lambat laun, kecintaan Saya terhadap tulisan justru semakin berkembang. Bahkan, Saya sangat gemas ingin tau lebih dalam mengenai ilmu menulis. Saya juga semakin sering mengandai-andai jika saja Saya masuk Sastra Indonesia. Saya sangat ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki kemampuan menulis lebih dari Saya dan belajar darinya. Impian Saya mengenai dunia tulis menulis semakin terasa kuat dan Saya menjadi lebih berambisi. Saya pun menyadari bahwa hasrat ini bukan lagi tentang bagaimana Saya bisa kabur dari dunia arsitektur, melainkan bagaimana caranya agar Saya bisa benar-benar belajar mengenai bahasa dan menulis.
Saya tidak lagi hanya ingin berlari untuk pergi dari tanggung jawab. Saya mulai berlari untuk mengejar impian Saya.
Akhirnya—setelah keterpurukan hampir dua tahun lamanya—saya bangkit. Dirundung kesadaran akan batas waktu yang pasti semakin lama semakin dekat, Saya membangun kembali keberanian Saya dan mengambil resiko besar dengan bolos UAS Perkembangan Arsitektur dan diam-diam mengambil tes masuk Universitas Negeri Jakarta karena pada saat itu, Universitas Negeri di Jakarta yang memiliki jurusan sastra Indonesia dan masih membuka jalur pendaftaran hanyalah UNJ saja.
Mengikuti tes tersebut tidak mudah. Background Saya yang berasal dari jurusan arsitektur dan jurusan Saya di SMA yang merupakan jurusan IPA membuat langkah Saya terasa berat. Saya pun hanya mendapatkan waktu dua minggu untuk belajar habis-habisan secara diam-diam, itupun terpotong sekitar lima hari karena Saya jatuh sakit tifus untuk pertama kalinya. Dalam jangka waktu sekitar 3 hari setelah agak baikan, Saya mengikuti tes mandiri UNJ seorang diri dan memasrahkan semuanya pada Allah.
Lalu setelah memperjuangkan segalanya sendirian, Allah yang Maha Baik mengatakan kepada Saya bahwa jalan inilah yang terbaik. Allah mengatakannya lewat pengumuman kelolosan tes mandiri UNJ. Dan setelah melalui sesi kejujuran dengan orangtua, Saya akhirnya resmi menjadi mahasiswa sastra Indonesia UNJ.
Bunda, setelah melalui banyak hal yang sangat berbeda dengan kehidupan Saya dari sebelum lulus SMA sampai kebelakang, Saya menjadi sangat bersyukur. Melalui masalah terbesar dalam hidup Saya dan telah menyelesaikannya dengan keputusan yang berani, level kedewasaan Saya jadi bertambah tinggi. Selain itu, walaupun baru sekitaran tiga kali Saya belajar efektif sebagai seorang mahasiswa sastra Indonesia, entah kenapa segalanya terasa lebih benar. Rasanya begitu lega dan Saya perlahan mulai kembali mengapresiasi diri saya sendiri dan percaya diri. Saya mencintai keputusan Saya dengan segala konsekuensinya. Walaupun ini semua baru awal, tapi Saya tau bahwa tidak pernah dalam hidup Saya.. Saya merasa sebegini tidak sabarnya mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi dan masalah-masalah yang akan Saya hadapi nantinya. Yang berarti baik. Untuk saat ini, Saya Hanya bisa berharap semoga perasaan ini terasa sampai nanti.
Begitulah kisah sekilas tentang impian Saya, Bunda.. terima kasih karena mau membaca kisah singkat ini. Semoga Bunda Helvy dan keluarga selalu dilindungi dan dirahmati oleh Allah SWT, aamiin...
Wassalamu’alaikum, Bunda Helvy...

Minggu, 20 November 2016

Dari Satu Bintang Yang Redup

Banyak orang yang bisa dengan mudah menanggapi ceritaku. Cukup dengan mengatakan bahwa ada cara termudah untuk pergi dari situasi buram yang aku tengah hadapi itu.
“pergi. Selesaikan perasaanmu.”
Hampir selalu aku mendengar satu dua patah kata tentang menyerah. Karena setiap aku bercerita, aku sendiripun mendengar kepayahan dalam setiap arah alur ceritaku akan berhenti. Rasanya, memang bodoh jika aku terus saja menyayangi seseorang yang tidak pernah mengenal diriku.
Tapi, reaksi itu masih jauh lebih baik ketimbang reaksi beberapa orang yang menertawakanku. Menganggap ceritaku sebagai komedi renyah yang aku bagi untuk mereka lahap dan muntahkan secara bersamaan, tanpa tedeng aling-aling. Sebab, rasanya memang terlampau gila menyayangi seseorang yang bahkan tidak pernah aku temui secara langsung. Face to face.
Tapi setelah ku telan bulat-bulat seluruh remeh dan tawa hina yang ku dapat akibat kecintaanku pada-“nya”, aku akan sekali lagi tertegun mendapati hatiku kembali mencemooh kelemahanku.
“apa cinta pernah salah?” katanya.
Bukankah masih benar saat kita menyayangi saudara kita sesama muslim di luar sana? Bukankah masih terbilang waras saat aku menangis memandangi layar televisiku, melihat saudaraku dihujam rentetan bom yang meluluhlantakkan rumah-rumah, tempat ibadah, dan sekolah-sekolahnya? Bukankah masih terasa terpuji saat aku keluar rumah untuk ikut memperjuangkan hak-hak saudaraku itu, menunjukkan rasa sayangku pada mereka, yang tidak mengenal diriku? Yang tidak pernah kutemui secara langsung?
Lantas kenapa rasanya sangat gila saat aku menangis melihat “mereka” menangis, sakit, atau terluka? Mengapa mereka katakan aku aneh saat ku habiskan uangku yang ku tabung sendiri dengan kepayahanku demi “mereka” yang juga tidak mengenal diriku?
Bukankah cinta tidak pernah membatasi dan memilih? Hatiku memiliki begitu banyak kasih sayang, lantas mengapa salah jika aku membagi kasih sayangku kepada sebanyak-banyaknya orang?
Fall in love with as many things as possible, katanya.
Malam ini, aku hanya ingin memutuskan untuk menyerah. Bukan menyerah lantas melupakan mereka—yang aku akui telah mengubah hidupku menjadi lebih berwarna sekaligus lebih suram. Haha—tapi aku ingin menyerah untuk menjadi lebih normal seperti kebanyakan kalian.
Saat ku pandangi lagi beratus potret mereka dengan berbagai ekspresi baru dan baru lagi yang membuatku jatuh dan jatuh cinta lagi. Aku menyadari bahwa sepertinya Tuhan tidak memberi batas untuk perasaanku pada mereka. Seringkali aku merasa bahwa tidak akan mungkin bagiku mencintai mereka lebih dari rasa cintaku pada mereka hari ini. Tapi mereka memberi kegilaan padaku dan menunjukkan bahwa kasih sayang itu tidak terbatas. Dan aku tidak berdaya. Hanya bisa jatuh dan jatuh cinta lagi, semakin dalam dan lebih dalam lagi.
Walau berulangkali ku putuskan untuk berhenti dan berubah, menghadapi hal yang “orang normal” bilang lebih “nyata”, akan selalu ada perasaan yang menarikku kembali. Akan selalu ada senyuman mereka yang membuatku bergeming dan kembali menatap kearah “hal yang tidak nyata” itu lebih lama.
Hei, tak hanya tentang paras seperti yang kau-kau pikirkan.
Ada sekelumit emosi, harapan, pelajaran, dan impian yang banyak mereka berikan. Akhirnya, kacaku menunjukkan betapa banyak perubahan tentang hidupku yang terinspirasi dari mereka. Karena merekalah aku menjadi lebih “gila”. Dan dengan menjadi “gila”-lah aku bisa benar-benar menikmati hidup. Memperjuangkan hal yang selama ini orang waras itu katakan tidak masuk akal.
Aku—hari ini dan hari esok—bisa berada di jalan yang baru ini, sesuai dengan impianku puluhan tahun yang lalu, adalah berkat mereka.
Lantas, mengapa aku harus menahan diriku untuk menyayangi mereka?
Ya, tidak akan terasa lengkap aku sebelum ku tatap mereka bertujuh secara langsung dan mengucapkan berulang kali kata terimakasihku. Walaupun untuk melengkapinya, butuh waktu hingga seumur hidupku.
Karena tanpa mereka, mungkin aku masih menekuk lutut dengan mata bengkak, duduk di depan mejaku yang terhampar gulungan besar kertas A2 bergambar beton-dinding-pondasi yang membuatku hampir menyerah. Membuatku hampir merasa tak berguna. Membuatku merasa terkungkung mati dalam raga yang setengah hidup.
Tapi, nyatanya aku malah di depan laptopku hari ini. Menulis dengan hati yang ringan. Dan semuanya, berkat mereka. Lantas, bagaimana bisa aku pergi dan menyelesaikan saja perasaanku?
Bagaimana bisa aku berhenti mencintaimu, Kim Sungkyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, Lee Sungjong?

Dari: satu bintang yang redup di tengah lautan bintang yang terang

Untuk: infinite

Kamis, 15 September 2016

Ibarat Bagi Kita

Seibarat pahitnya secangkir kopi yang ku sesap pagi tadi
Aromanya berbohong padaku
Kemudian mengenyah
Tapi, ku sesap juga
Menikmati sepat yang menari dalam lidah
Pahitnya larutan bubuh kopi yang membuatku tersadar
Bahwa manusia begitu naifnya

Pun.
Seibarat air yang meresap memberi jiwa pada bungaku
Mengapa air masih saja mau?
Mencintai bunga sebegitu dalamnya
Memekarkan pesonanya tanpa harga apapun
Sedangkan yang ia dapat hanyalah kemusnahan?

Lalu,
Seibarat daun yang mau saja menari bersama anginnya
Menikmati dentuman waktu menuju mautnya
Mencintai angin begitu dalam
Yang justru memberinya jalan menuju wangi tanah
Membusuk dalam kesendirian
Mati di bumi

Seibarat itu
Cinta memang tak pernah berjalan di atas logika
Seumpama itu
Sadarku bangkit dan tertawa pilu
Pahit, bukan?

Jadi, bukankah kita pun sama?
Dan bukankah rasaku dalam bisuku adalah kenaifan pula?
Bukankah..
Kita hanyalah pilinan rasa semu?
Yang berujung pada ambiguitas tanpa penyelesaian?
Tapi,

Mengapa mencintaimu masih saja terasa benar..?

Sabtu, 10 September 2016

Daun


Teruntuk angin,
Mengapa masih saja ku relakan diriku? Membiarkanmu mengombang-ambingku tanpa ampun, merusak beberapa bagian dariku yang rapuh dan begitu tidak berdaya? Tapi mengapa bersamamu masih saja terasa benar?
Teruntuk angin,
Ku biarkan lajumu menghempasku kesana kemari dalam balutan rasa yang tak adil. Ku biarkan aku menikmati siksamu pada sekeping aku. Ku biarkan  kau merobek dan merusaknya tanpa ampun.
Teruntuk angin,
Masih saja tak pernah kau tau betapa aku masih menari tanpa arah demi seorang kamu. Masih saja aku mengikuti arahmu berlari walaupun aku tau bahwa dipenghujung kisah ini, hanya akan ada aku yang membusuk di atas tanah. Sendirian, tanpa sempat kau balas tulusku.
Teruntuk angin..
Aku masih mencintaimu walaupun kau tak menyadari bahwa aku—sepotong daun yang menunggu busuknya—menatapmu dengan penuh harap dari jauh, menyayangimu dalam bisuku. Menunggu hal indah yang tak pernah pasti akan terjadi kapan, atau apakah benar-benar akan terjadi. Aku masih merindukanmu dalam tarianku bersamamu, mencintaimu sedalam ini walaupun tau akhir yang akan ku hadapi jika tetap melakukannya. Mendukungmu, mengikuti arah pandangmu, kemana pun, dimana pun, demi seorang kamu.
Teruntuk angin,
Aku mungkin hanyalah selembar daun kecokelatan yang lusuh dan tak berdaya. Tapi, aku mencintaimu dalam do’aku, melebihi siapa pun.

Minggu, 28 Agustus 2016

Make Things Seems Right


Things never get any better until I found what I really want for my life.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Tanpa terasa sudah kisaran tahun kedua aku disini, menghadapi susah senangnya kehidupan seorang mahasiswa jurusan arsitektur. Melihat banyak hal baru dan mengambil begitu banyak pelajaran berharga darinya. Dan membuat kenangan-kenangan baru.
Tahun keduaku penuh dengan drama. Semuanya terasa salah saat harus aku melangkah lagi makin jauh dari tujuanku dan kecintaanku. Setiap harinya.. hampir selalu ada penyesalan dan rasa tak percaya diri. Kenapa aku sebodoh ini? Kenapa aku sepengecut ini? Apakah sebegini sulitnya untuk menjadi diri sendiri dan mengejar impianku? Identitas diriku sendiri?
Tak ayal, saat semuanya terasa begitu salah dan kita tetap harus menjalani hidup.. aku pun mulai hidup menjadi seorang aktor handal bermuka seribu. Saat bersedih, aku tersenyum. Saat hatiku meringis dan menangis, aku tertawa. Tersenyum, tertawa, tersenyum lebih lebar, dan tertawa lebih keras.
Dan jika mengenang hari-hari dramatis yang ku lalui setahun belakangan.. aku masih saja menangis seorang diri lagi. Di kamar yang sama.
Tapi, Tuhan begitu menyayangiku dan memberikanku kesempatan lagi untuk menjadi lebih berani. Kesadaranku akan batas waktu dan kesempatan yang tidak akan pernah datang dua kali menghantam ketakutanku, menghancurkannya. Membuatku menjadi lebih berani dan dengan tegas mengambil langkah ini. Sendirian.
Begitu banyak reaksi yang mendukungku, sama halnya dengan begitu banyaknya reaksi mereka yang mendengus melihat ketabahanku dalam mengejar impianku yang sebenarnya sudah sangat jauh.
Lalu, saat aku berhasil.. kesadaran menyelimutiku.
Hari ini, kali pertama dalam hidupku—setelah setahun belakangan aku dirundung galau—aku merasa bahwa langkahku terasa ringan. Bahwa semuanya terasa benar. Dan aku bersyukur karena telah mengambil langkah ini. Berterima kasih kepada Tuhan atas segala keberanian yang ia berikan, dan berterima kasih kepada diriku sendiri atas kepercayaan diriku yang kembali kutanam.
Ya, ternyata benar.
Aku bukanlah siapa-siapa tanpa impianku. Aku bukanlah siapa-siapa tanpa tulisanku.
Maka setelah kukejar dunia ini dan akhirnya ku dapatkan, perlahan aku kembali menjadi seorang manusia yang sempurna. Yang utuh dengan nyawa dan jasadnya. Sempurna dengan impian yang kini ia pegang teguhkan tanpa ketakutan lagi.
Semua terasa menjadi lebih jelas sejak hari ini dan perlahan ketakutanku menjadi tak berarti.
Things will never get any better if I never seek  what I really want.
Aku termangu sesaat setelah menyaksikan lagi masa-masa tersuram dalam hidupku di kepalaku sendiri. Perlahan, ku pegang penaku, ku rapatkan tubuhku menuju meja kerjaku dan memandangi kertas kecil berwarna putih untuk menulis.
Ya, aku menulis.
Melakukan satu-satunya hal yang paling aku cintai tanpa mengindahkan ketakutanku lagi.
Aku menulis sambil menangis dan tersenyum.
Bersyukur.
Dan setelah selesai semua hal yang ingin aku tuangkan kedalam tulisanku.. aku menghela nafas dan menghapus bulir airmata yang jatuh ke ujung daguku dan terisak sambil tertawa kecil.
Betapa naifnya tulisanku.
Tapi, aku masih saja tertawa kecil sambil menangis lebih banyak. Karena itulah, aku merasa bahwa pemikiranku haruslah disampaikan kepada manusia lainnya yang tengah mengalami hal yang setahun belakangan ini ku alami.
Bahwa..

as you get older, you begin to realize there are many other things that should be prioritized beside your dreams.
it’s okay to admit your defeat. It’s okay to lessen your dreams. Be more realistic. Because that’s part of maturity.
but.. don’t give up on it!”
if it’s something important that called dreams. Then, don’t lose it!”
because dream is the part of yourself. Because dream is a depiction of who you are.

Bahwa saat kamu mulai dewasa, mungkin kamu akan mulai menyadari betapa naif dan semunya impianmu. Bahwa teramat sulit bagimu untuk mencapainya sekarang ini.
Kamu boleh mengatakan bahwa kamu kalah dan salah. Kamu pun boleh meminimalisir mimpimu dan lebih realistis. Menghadapi kenyataan bahwa impianmu terlalu sulit untuk dicapai saat ini. Fase ini memang fase kedewasaan yang harus kamu lalui dalam hidup. Tidak ada satu pun manusia yang bisa mencegah dirinya dari kegagalan.
Tapi, jangan pernah benar-benar menyerah.
Jika itu benar-benar impian—hal yang kamu cintai dalam hidupmu dan membuatmu bahagia hanya dengan memikirkannya—maka, janganlah kamu lepaskan!
Sebab, percayalah.
Bacalah tulisanku ini baik-baik dengan segenap keberanianmu dan percayalah.
Bahwa impianmu adalah bagian dari dirimu, identitasmu. Impian adalah penggambaran dirimu. Lantas, tanpanya, siapa dirimu?