Senin, 25 Juli 2016

Retoris (Part I)

“apa yang spesial darinya?”
Apa..? jika Amanda bertanya seperti itu dengan ekspresi kebingungan, aku bisa apa? Karena sejatinya aku pun tidak tahu. Aku hanya bisa mengulas senyum pahit sekilas dan mengangkat bahu, memberi tanda bahwa aku pun kehabisan akalku dalam mencari alasan untuk melupakannya. Padahal.. tidak ada alasan yang pasti kenapa aku harus mencintainya seperti ini.
Saat pertanyaan itu keluar mulus dari bibir sahabatku yang habis kesabarannya dalam menghadapiku, gema tanyanya berulang-ulang memukul pikiranku. Dan aku tak berdaya. Hanya bisa mengingat kembali potong demi potong ingatan tentang kita. Yang bahkan mungkin, hanya aku yang masih mengingatnya.
*****
Mungkin karena malam itu?
Saat aku hampir lima jam lamanya mematut diri didepan kaca dan mengganti berulang kali penampilanku. Dan sepertinya, hampir ribuan kali aku berdesis dan mengerutkan alisku karena merasa penampilanku buruk sekali.
The hell, Nad? Haruskah aku serepot ini hanya demi beberapa jam kedepan?
Dan untung saja, gerutuku bisa dihentikan oleh dentingan ponselku tanda pesan masuk. Darinya.
From: Kak Satria
Kynya aku udh nunggu sekitaran 30 mnt..? :D
Aku menarik nafas sedalam-dalamnya dan memejamkan mata sesaat. Dapat dengan jelas aku bayangkan jemari Kak Satria menari diatas keypad ponselnya dengan senyum simpulnya yang khas itu. seolah ia tahu kepanikan apa yang sedang aku alami saat ini.
Ya, dia pasti tahu. Dia selalu tahu aku bahkan melebihi diriku sendiri.
To: Kak Satria
On the way.
Balasku singkat dengan wajah memanas dan jantung berdegup kencang bukan main. Sambil melangkahkan kaki keluar, menghadapi kenyataan bahwa aku sudah pasti akan melalui kenangan baru bersamanya. Malam ini.
Dan firasatku mengatakan bahwa.. hatiku harus lebih berani.
Lalu, disanalah ia, duduk dengan nyaman diatas motor bututnya yang ia banggakan. Melambaikan tangannya padaku setelah ia menoleh karena mendengar langkah kakiku berjalan tak beraturan menujunya. Dan aku—as usual—hanya bisa tersenyum kikuk dan berjalan semakin tidak beraturan.
Oh God.. kalau saja tidak ada ceritanya aku jatuh cinta pada laki-laki bermata sipit yang sekarang duduk tidak jauh didepanku ini, aku pasti tidak akan sememalukan ini.
“mau pulang jam berapa kalau berangkatnya lebih lama lagi?” Kak Satria tertawa. Tawa yang masih saja dengan mudahnya membuat kakiku lemas karena daya tariknya.
“maaf, kak.” Sahutku sambil mengenakan helmet dengan canggung dan duduk di belakangnya dengan gerakan yang lebih canggung lagi. Dalam hati mengutuki sahutanku yang sangat datar dan membosankan.
Tapi, Kak Satria—yang selalu bisa menghadapiku dengan tepat—hanya tertawa sambil memeriksa posisi dudukku, kemudian menyalakan mesin motornya dan melaju kencang. Menuju tempat makan yang ia ceritakan padaku dimalam sebelumnya.
Lagi, Kak Satria menyelesaikan percakapan kami dengan tawanya. Selanjutnya, ia seakan memberi waktu bagiku untuk mengumpulkan kembali ketenanganku. Duduk dibelakangnya, memandangi punggungnya, diam dalam kenyamanan hening, melihat gedung-gedung dipinggiran jalan.
Dan masih menjadi misteri.. kenapa hanya dengannya aku bisa diam dengan nyaman? Tanpa khawatir harus memikirkan bahan obrolan yang menarik untuk kita perbincangkan. Hanya dengannya aku tidak mengkhawatirkan kesanku sendiri. Tidak bersusah payah untuk berusaha menjadi orang lain dan membuatnya terkesan padaku. Hanya dengan duduk dibelakangnya seperti ini, aku merasakan perasaan paling menenangkan dalam hidupku.
Lalu, saat sudah kukumpulkan ketenanganku, Kak Satria akan mulai membuka percakapan kembali seolah dapat membaca timing rasaku.
“tempat makannya masih jauh, lho.” Ucapnya sambil terkekeh.
“oh, ya?” dan lagi, aku hanya bisa menyahut dengan sahutan paling datar dan membosankan.
“iya.” Aku mengintip lewat spion motor dan mendapati matanya semakin menyipit karena tersenyum, “jadi, kamu jangan sampai ketiduran, ya.”
Dan ajaibnya, walaupun hanya bisa aku balas dengan tawaku—karena menyebalkannya aku yang tidak dapat mengendalikan tawaku—Kak Satria akan selalu menemukan percakapan baru lainnya sampai aku bisa berkata lebih banyak. Dan percakapan kami pun mulai terasa lebih menarik.
Lagi, hanya jika dengannya.
Kak Satria tahu betul aku bukanlah tipikal orang yang suka bercerita tentang diriku sendiri. Maka, dengan lugasnya ia akan mencari bahan pembicaraan tentang dirinya sendiri. Memberiku kesempatan untuk mendengarkan ceritanya dan mengetahui lebih banyak lagi sejarah—dan bahkan rahasia—dalam hidupnya. Membuatku semakin merasa bahwa aku dihargai. Bahwa Kak Satria mempercayaiku. Dan lagi, tidak pernah ada orang lain yang bisa membuat perasaanku sebaik ini.
Setelah tiba kami di sebuah tempat makan bernuansa tradisional, dan telah kami dapatkan pesanan kami masing-masing, kami akan memulai perbincangan nyaman kami yang pembahasannya teramat luas dan acak. Dan malam itu, hal aneh pertama terjadi.
Aku tidak dapat menahan senyumku saat tiba-tiba janjinya terlintas dalam benakku. Dan tanpa berfikir dua kali, aku berkata, “Kak, katanya mau nyanyi?”
Sejenak ku lihat matanya membulat karena terkejut. Dan aku menyesal sejadi-jadinya karena telah merusak suasana yang sempurna ini. Aku lupa dan malah menantang diriku sendiri untuk bertahan dari hal yang paling tidak aku suka. Karena sebenarnya aku paling tidak suka tindak-tanduk romantis atau manis yang kebanyakan gadis lain suka. Apalagi, dinyanyikan oleh seorang laki-laki yang aku sukai. Dan Kak Satria tahu betul tabiatku itu. mungkin itulah yang membuatnya terkejut.
“suaraku nggak bagus, lho.” Raut wajahnya melembut dan ia tersenyum. Membuatku mendengus sebal.
“nggak usah basa-basi dengan merendah, deh. Kakak udah janji, lho.” Aku mengingatkan dengan memasang ekspresinya kemenangan. Yang malah disambut dengan tawanya.
“iya, tapi kamu jangan nyesel, ya.”
“iyaaa!”
Dan mulailah ia menyanyikan sebuah lagu yang masih ku ingat liriknya dengan jelas. Dan terjadilah momen paling istimewa dalam hidupku.

Ku sadari kesalahan ini..
Yang membuat segalanya gelap jadinya..
Ooh kasihku..
Ku harap kau mau.. memaafkan..
Menerima pengakuanku..
Jangan kau diam lagi..
Ku tak sanggup menahan..
Bicaralah kau sayang..
Jiwa ini tak tenang..

Aku tidak bisa menahan rasa bahagia dan egoku untuk percaya bahwa lagu itu ia nyanyikan khusus untukku. Dan sejenak berusaha melupakan bahwa akulah yang memintanya untuk bernyanyi.
Tapi, aku masih ingat rahasianya.

Cinta jangan kau pergi..
Tinggalkan diriku sendiri..
Cinta jangan kau lari..
Apalah arti hidup ini..
Tanpa cinta dan kasih.. sayang..

Traumaku kembali saat ku sadar bahwa lirik dalam lagu itu bisa bermakna lain. Dan lebih mungkin ia nyanyikan untuk gadis itu. cerita pertama tentang hidupnya yang ia buka padaku.
Dan aku tidak dapat menahan diriku untuk bersedih.
*****
“jadi..?” Amanda menatapku lamat-lamat, “Nadia..?”
Aku terbangun dari lamunan panjangku. Sama sekali tidak mendengarkan satupun kata yang Amanda sampaikan padaku. Walaupun aku mendengar resonansi suaranya masih berputar dalam otakku. Tapi, otakku menolak untuk mencerna maknanya karena terusik oleh lamunanku.
Jadi malam itu, setelah selesai makan malam kami yang menyenangkan, hal aneh kedua terjadi.
Tidak biasanya. Saat aku melambaikan tangan untuk memberi tanda bahwa aku akan masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya, Kak Satria hanya balas menatapku. Membuatku dengan canggung membalikkan badanku dan hendak pergi. Tapi, baru sekitaran satu langkah ku ambil, aku dengar Kak Satria memanggilku dengan intonasi suara yang lembut.
“Nadia..”
Aku berbalik lagi dan menghadapi ketakutanku.
“iya, Kak..?”
Sejenak Kak Satria terdiam sambil memandangiku. Berusaha keras untuk mencari kata-kata terbaik—yang biasanya sama sekali bukan gayanya—untuk kemudian mulai membuka suara, “kamu anggap aku kakak?”
Detik saat aku mencerna pertanyaannya yang absurd dan tak jelas tujuannya itu, begitu banyak kelebat bayangan dan peristiwa yang muncul dalam benakku.
Aku anggap Kak Satria seorang kakak..? kakakku..? ya, siapa aku? Mungkin pertanyaan semunya itu merupakan tanda bahwa ia sedang berusaha untuk mengingatkanku dengan hati-hati. Bahwa aku hanyalah adik kesayangannya yang ia sayangi—sebagai adik. Dan aku juga seharusnya menganggapnya sebagai seorang kakak, tanpa alih lainnya.
Tapi, berat ku anggukkan kepala saat aku ingat lagi nyanyiannya beberapa jam yang lalu. Saat ku lihat senyumannya saat melihatku dan ku dengar suaranya bercerita padaku.
Lalu, tiba-tiba malah aku ingat lagi cinta pertamanya yang memberinya banyak ingatan berharga. Yang tidak pernah habis ia ceritakan padaku. Masih dengan ekspresi sedih pertanda ia masih belum bisa melepaskan gadis itu. dan mungkin—sangat mungkin—lagu tadi ia tujukan untuk gadis itu. bukan untukku.
Jadi, ku anggukkan kepalaku dan ku paksakan senyumku.
“iya, Kak. Kakak itu Kakak terbaikku.”

*****

Kamis, 14 Juli 2016

Teruntuk: Kamu (Part II)

Aku, Geanda. Hari ini pun akan aku ceritakan perihal kamu, Fagas.
.
Lagi.
Tak ada yang spesial dengan bangku taman sekolah yang lagi-lagi kita tempati ini. Berdua. Persis sama seperti beberapa tahun yang lalu saat harus aku tunggu kamu lagi untuk kembali. Setelah kamu meyakinkanku bahwa hatimu tidak akan pernah berubah. Dan meyakinkanku bahwa suatu hari nanti—saat tiba hari dimana kita bertemu lagi—akan kamu usahakan dengan segenap bisamu untuk membuatku mengubah hati. Melupakan dia, dan melihat hanya padamu.
Tapi, beberapa tahun yang lalu.. aku tidak berusaha untuk mempercayaimu. Karena egoku selalu memasang tameng pelindung untuk menjaga hatiku dari harapan semu hampir semua laki-laki. Karena ku pikir, kamu juga pasti seperti dia.
Lalu saat lagi. Kita disini, hari ini. Aku percaya bahwa kamu berbeda. Dan aku menyadari bahwa beberapa tahun yang lalu.. seharusnya bukan begitulah jawabanku. Bukan kalimat penolakanlah yang aku susun dan aku jabarkan padamu. Karena sebenarnya, hatiku tidak pernah bisa menolak keberadaanmu.
Sayangnya, saat aku sudah seyakin ini.. kamu memutuskan untuk menyerah.
“maaf, Gea. Maaf karena rinduku masih sama.”
Lagi? Kata yang sama lagi?
Aku menahan nafas untuk sepersekian detik. Meragukan pendengaranku. Total kehilangan seluruh guna inderaku pada detik-detik itu. Tepat setelah kamu mengatakan beberapa patah kata yang mengandung sejuta makna.
“tapi, kali ini aku akan berhenti.” Kamu tersenyum samar sambil perlahan menunduk. Terlihat berusaha keras untuk mendustai hatimu.
Baru saja kamu hendak memalingkan wajahmu dan berlalu, aku—tanpa kesadaran penuh—memanggilmu dengan suara gemetar karena degupan jantungku yang bertambah kelipatannya.
“Gas.”
Kamu mengangkat wajahmu dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
“um..” sejenak aku kehilangan kata. Sebelum akhirnya dengan yakin membalas tatapanmu, “iya, Gas, iya. Seharusnya kamu berhenti.”
Aku sedikit goyah begitu melihat tatapanmu yang bercampur dengan sedihmu. Tapi akhirnya, tetap kulanjutkan pengakuanku dengan sisa-sisa keberanianku.
“berhenti ikutin aku kesana-kemari. Berhenti mengusahakan yang terbaik buat aku dan lantas mengorbankan kebahagiaan kamu. Berhenti menunggu. Jangan berusaha selalu ada untuk orang kayak aku.” Aku menarik nafas dalam-dalam, “berhenti, Gas. Kali ini, biar aku yang mengejar kamu.”
.
.
.
Terhitung tahunan aku mencintaimu sebesar ini.
Walau selalu ada saja saat jatuh bangunku dalam meyakinkan hatiku bahwa perasaan ini tidak akan salah. Dan perasaan ini akan membawaku menuju akhir bahagia yang dulu selalu aku impikan. Ibarat dongeng kita dulu yang aku ceritakan padamu dengan suara melengking khas anak kecil.
Kisaran waktuku untuk sibuk mencintaimu.. mungkin lebih lama dari kisaran waktumu jatuh cinta padaku. Tapi, kamu tidak akan pernah tahu.



Part I: http://fxdstar28.blogspot.co.id/2015/09/teruntuk-kamu.html