“apa yang spesial darinya?”
Apa..? jika Amanda bertanya seperti itu dengan ekspresi kebingungan,
aku bisa apa? Karena sejatinya aku pun tidak tahu. Aku hanya bisa mengulas
senyum pahit sekilas dan mengangkat bahu, memberi tanda bahwa aku pun kehabisan
akalku dalam mencari alasan untuk melupakannya. Padahal.. tidak ada alasan yang
pasti kenapa aku harus mencintainya seperti ini.
Saat pertanyaan itu keluar mulus dari bibir sahabatku yang
habis kesabarannya dalam menghadapiku, gema tanyanya berulang-ulang memukul
pikiranku. Dan aku tak berdaya. Hanya bisa mengingat kembali potong demi potong
ingatan tentang kita. Yang bahkan mungkin, hanya aku yang masih mengingatnya.
*****
Mungkin karena malam itu?
Saat aku hampir lima jam lamanya mematut diri didepan kaca dan
mengganti berulang kali penampilanku. Dan sepertinya, hampir ribuan kali aku
berdesis dan mengerutkan alisku karena merasa penampilanku buruk sekali.
The hell, Nad? Haruskah aku serepot ini hanya demi beberapa jam kedepan?
Dan untung saja, gerutuku bisa dihentikan oleh dentingan
ponselku tanda pesan masuk. Darinya.
From: Kak Satria
Kynya aku udh nunggu
sekitaran 30 mnt..? :D
Aku menarik nafas sedalam-dalamnya dan memejamkan mata sesaat.
Dapat dengan jelas aku bayangkan jemari Kak Satria menari diatas keypad
ponselnya dengan senyum simpulnya yang khas itu. seolah ia tahu kepanikan apa
yang sedang aku alami saat ini.
Ya, dia pasti tahu. Dia selalu tahu aku bahkan melebihi diriku
sendiri.
To: Kak Satria
On the way.
Balasku singkat dengan wajah memanas dan jantung berdegup
kencang bukan main. Sambil melangkahkan kaki keluar, menghadapi kenyataan bahwa
aku sudah pasti akan melalui kenangan baru bersamanya. Malam ini.
Dan firasatku mengatakan bahwa.. hatiku harus lebih berani.
Lalu, disanalah ia, duduk dengan nyaman diatas motor bututnya
yang ia banggakan. Melambaikan tangannya padaku setelah ia menoleh karena
mendengar langkah kakiku berjalan tak beraturan menujunya. Dan aku—as usual—hanya bisa tersenyum kikuk dan
berjalan semakin tidak beraturan.
Oh God.. kalau saja tidak ada ceritanya aku jatuh cinta pada laki-laki
bermata sipit yang sekarang duduk tidak jauh didepanku ini, aku pasti tidak
akan sememalukan ini.
“mau pulang jam berapa kalau berangkatnya lebih lama lagi?”
Kak Satria tertawa. Tawa yang masih saja dengan mudahnya membuat kakiku lemas
karena daya tariknya.
“maaf, kak.” Sahutku sambil mengenakan helmet dengan canggung
dan duduk di belakangnya dengan gerakan yang lebih canggung lagi. Dalam hati
mengutuki sahutanku yang sangat datar dan membosankan.
Tapi, Kak Satria—yang selalu bisa menghadapiku dengan tepat—hanya
tertawa sambil memeriksa posisi dudukku, kemudian menyalakan mesin motornya dan
melaju kencang. Menuju tempat makan yang ia ceritakan padaku dimalam
sebelumnya.
Lagi, Kak Satria menyelesaikan percakapan kami dengan tawanya.
Selanjutnya, ia seakan memberi waktu bagiku untuk mengumpulkan kembali
ketenanganku. Duduk dibelakangnya, memandangi punggungnya, diam dalam
kenyamanan hening, melihat gedung-gedung dipinggiran jalan.
Dan masih menjadi misteri.. kenapa hanya dengannya aku bisa
diam dengan nyaman? Tanpa khawatir harus memikirkan bahan obrolan yang menarik
untuk kita perbincangkan. Hanya dengannya aku tidak mengkhawatirkan kesanku
sendiri. Tidak bersusah payah untuk berusaha menjadi orang lain dan membuatnya
terkesan padaku. Hanya dengan duduk dibelakangnya seperti ini, aku merasakan
perasaan paling menenangkan dalam hidupku.
Lalu, saat sudah kukumpulkan ketenanganku, Kak Satria akan
mulai membuka percakapan kembali seolah dapat membaca timing rasaku.
“tempat makannya masih jauh, lho.” Ucapnya sambil terkekeh.
“oh, ya?” dan lagi, aku hanya bisa menyahut dengan sahutan
paling datar dan membosankan.
“iya.” Aku mengintip lewat spion motor dan mendapati matanya
semakin menyipit karena tersenyum, “jadi, kamu jangan sampai ketiduran, ya.”
Dan ajaibnya, walaupun hanya bisa aku balas dengan tawaku—karena
menyebalkannya aku yang tidak dapat mengendalikan tawaku—Kak Satria akan selalu
menemukan percakapan baru lainnya sampai aku bisa berkata lebih banyak. Dan percakapan
kami pun mulai terasa lebih menarik.
Lagi, hanya jika dengannya.
Kak Satria tahu betul aku bukanlah tipikal orang yang suka
bercerita tentang diriku sendiri. Maka, dengan lugasnya ia akan mencari bahan
pembicaraan tentang dirinya sendiri. Memberiku kesempatan untuk mendengarkan
ceritanya dan mengetahui lebih banyak lagi sejarah—dan bahkan rahasia—dalam hidupnya.
Membuatku semakin merasa bahwa aku dihargai. Bahwa Kak Satria mempercayaiku. Dan
lagi, tidak pernah ada orang lain yang bisa membuat perasaanku sebaik ini.
Setelah tiba kami di sebuah tempat makan bernuansa
tradisional, dan telah kami dapatkan pesanan kami masing-masing, kami akan
memulai perbincangan nyaman kami yang pembahasannya teramat luas dan acak. Dan malam
itu, hal aneh pertama terjadi.
Aku tidak dapat menahan senyumku saat tiba-tiba janjinya
terlintas dalam benakku. Dan tanpa berfikir dua kali, aku berkata, “Kak,
katanya mau nyanyi?”
Sejenak ku lihat matanya membulat karena terkejut. Dan aku
menyesal sejadi-jadinya karena telah merusak suasana yang sempurna ini. Aku lupa
dan malah menantang diriku sendiri untuk bertahan dari hal yang paling tidak aku suka. Karena sebenarnya aku paling tidak suka tindak-tanduk romantis atau manis
yang kebanyakan gadis lain suka. Apalagi, dinyanyikan oleh seorang laki-laki
yang aku sukai. Dan Kak Satria tahu betul tabiatku itu. mungkin itulah yang
membuatnya terkejut.
“suaraku nggak bagus, lho.” Raut wajahnya melembut dan ia
tersenyum. Membuatku mendengus sebal.
“nggak usah basa-basi dengan merendah, deh. Kakak udah janji,
lho.” Aku mengingatkan dengan memasang ekspresinya kemenangan. Yang malah
disambut dengan tawanya.
“iya, tapi kamu jangan nyesel, ya.”
“iyaaa!”
Dan mulailah ia menyanyikan sebuah lagu yang masih ku ingat
liriknya dengan jelas. Dan terjadilah momen paling istimewa dalam hidupku.
Ku sadari kesalahan ini..
Yang membuat segalanya
gelap jadinya..
Ooh kasihku..
Ku harap kau mau.. memaafkan..
Menerima pengakuanku..
Jangan kau diam lagi..
Ku tak sanggup menahan..
Bicaralah kau sayang..
Jiwa ini tak tenang..
Aku tidak bisa menahan rasa bahagia dan egoku untuk percaya
bahwa lagu itu ia nyanyikan khusus untukku. Dan sejenak berusaha melupakan
bahwa akulah yang memintanya untuk bernyanyi.
Tapi, aku masih ingat rahasianya.
Cinta jangan kau pergi..
Tinggalkan diriku
sendiri..
Cinta jangan kau lari..
Apalah arti hidup ini..
Tanpa cinta dan kasih..
sayang..
Traumaku kembali saat ku sadar bahwa lirik dalam lagu itu bisa
bermakna lain. Dan lebih mungkin ia nyanyikan untuk gadis itu. cerita pertama
tentang hidupnya yang ia buka padaku.
Dan aku tidak dapat menahan diriku untuk bersedih.
*****
“jadi..?” Amanda menatapku lamat-lamat, “Nadia..?”
Aku terbangun dari lamunan panjangku. Sama sekali tidak
mendengarkan satupun kata yang Amanda sampaikan padaku. Walaupun aku mendengar
resonansi suaranya masih berputar dalam otakku. Tapi, otakku menolak untuk
mencerna maknanya karena terusik oleh lamunanku.
Jadi malam itu, setelah selesai makan malam kami yang
menyenangkan, hal aneh kedua terjadi.
Tidak biasanya. Saat aku melambaikan tangan untuk memberi
tanda bahwa aku akan masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya, Kak Satria hanya
balas menatapku. Membuatku dengan canggung membalikkan badanku dan hendak
pergi. Tapi, baru sekitaran satu langkah ku ambil, aku dengar Kak Satria
memanggilku dengan intonasi suara yang lembut.
“Nadia..”
Aku berbalik lagi dan menghadapi ketakutanku.
“iya, Kak..?”
Sejenak Kak Satria terdiam sambil memandangiku. Berusaha keras
untuk mencari kata-kata terbaik—yang biasanya sama sekali bukan gayanya—untuk kemudian
mulai membuka suara, “kamu anggap aku kakak?”
Detik saat aku mencerna pertanyaannya yang absurd dan tak
jelas tujuannya itu, begitu banyak kelebat bayangan dan peristiwa yang muncul
dalam benakku.
Aku anggap Kak Satria
seorang kakak..? kakakku..? ya, siapa aku? Mungkin pertanyaan
semunya itu merupakan tanda bahwa ia sedang berusaha untuk mengingatkanku
dengan hati-hati. Bahwa aku hanyalah adik kesayangannya yang ia sayangi—sebagai
adik. Dan aku juga seharusnya menganggapnya sebagai seorang kakak, tanpa alih
lainnya.
Tapi, berat ku anggukkan kepala saat aku ingat lagi
nyanyiannya beberapa jam yang lalu. Saat ku lihat senyumannya saat melihatku dan
ku dengar suaranya bercerita padaku.
Lalu, tiba-tiba malah aku ingat lagi cinta pertamanya yang
memberinya banyak ingatan berharga. Yang tidak pernah habis ia ceritakan
padaku. Masih dengan ekspresi sedih pertanda ia masih belum bisa melepaskan
gadis itu. dan mungkin—sangat mungkin—lagu tadi ia tujukan untuk gadis itu.
bukan untukku.
Jadi, ku anggukkan kepalaku dan ku paksakan senyumku.
“iya, Kak. Kakak itu Kakak terbaikku.”
*****