Dari: Mufidah Nur
Azizah
Untuk: Bunda Helvy
Tiana Rosa
Bismillah…
Assalamu’alaikum Bunda
Helvy.
Sebelum menyampaikan
beberapa patah kata mengenai hidup versi Saya, Saya akan memperkenalkan diri
terlebih dahulu. Bunda, nama saya Mufidah Nur Azizah atau yang sahabat-sahabat
dekat saya biasa panggil dengan sebutan Upit. Tapi, sekarang Saya hampir selalu
memperkenalkan diri Saya dengan nama Mufi. Saya lahir di Jakarta pada tanggal
28 Desember 1996. Jadi, kini Saya hampir genap berusia 20 tahun.
Secara umum, sifat Saya
dapat dijabarkan sebagai anak yang pemalas, menggampangkan segala urusan,
sangat berketergantungan pada orang lain, sensitif, dan jarang sekali serius
memikirkan masa depan Saya. Hidup berkecukupan dan perlakuan orangtua terhadap
Saya membuat Saya terlena. Saya punya impian, tapi Saya tidak pernah
benar-benar memperjuangkannya di luar kepala. Ya, saya hanya sibuk bermimpi.
Saya sibuk bervisi sampai tidak pernah Saya susun misi untuk meraih visi
tersebut, apalagi melaksanakannya.
Impian Saya hanyalah
satu. Saya hanya ingin menjadi seorang penulis. Tapi, saat kedua orangtua Saya
menentangnya, Saya terlalu manut dan lantas menurut. 2014 saat saya lulus dari
SMA dan mencari perguruan tinggi, Ayah menyetir Saya agar Saya masuk ke jurusan
arsitektural di sebuah kampus swasta di Jakarta. Saat itu, sempat Saya menolak dan
menyampaikan keinginan Saya untuk masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Namun,
ucapan Ayah yang merendahkan jurusan itu lantas menyiutkan nyali Saya hanya
dalam hitungan menit. Hingga akhirnya Saya mengiyakan keinginan Ayah saya dan
resmi menjadi seorang mahasiswa jurusan arsitektur.
Tanpa kemauan, tanpa
kecintaan, tanpa tujuan yang pasti, dan dengan penuh keterpaksaan Saya
menjalani kisaran 2 tahun potong masa dalam hidup Saya dijurusan arsitektur.
Tapi ternyata,
arsitektur sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Ditahun pertama pun, Saya
sudah merasa hampir putus asa dan goyah. Ucapan-ucapan dari para dosen dan
senior pun terus menghantui Saya. Mereka terus-menerus mewanti-wanti Saya untuk
secepatnya keluar dari jurusan itu karena mereka tau persis dalih Saya untuk
masuk ke jurusan itu sangatlah lemah. Hanya karena ayah Saya menginginkannya.
Lalu, ketika mulai
akhir tahun 2015, Saya semakin kacau karena semakin jauhnya hidup Saya dari
harapan Saya sendiri. Terasa sangat begitu sulitnya untuk menjadi diri sendiri
dan mencintai impian Saya sendiri. Kata-kata penghibur dari saya dan untuk saya
sendiri seperti, “pokoknya lo lulus aja secepatnya. Setelah lulus, lo bebas
jadi penulis.” Itu mulai tidak bekerja. Saya semakin gelisah karena terlepas
dari impian Saya yang berbeda dengan studi Saya, Saya pun mulai mengkhawatirkan
cara Saya untuk lulus. Saya mulai meragukan kemampuan Saya sendiri karena
setelah tiga semester—mengambil cukup banyak mata kuliah mengenai
arsitektural—Saya tetap merasa payah dan tidak bisa apa-apa dibandingkan
teman-teman Saya di arsitektur. Saya semakin tidak percaya diri dan kehilangan
identitas diri.
Masa itu merupakan masa
jatuhnya Saya yang paling dalam selama 20 tahun Saya hidup. Karena Saya
terjebak sendiri disebuah dunia yang asing dan tidak Saya inginkan. Namun, Saya
sangat tidak berdaya karena telah terlanjur memikul amanat orangtua untuk
menjadi anak yang sukses. Mereka secara konsisten menanyakan perkembangan Saya
di arsitektur dan membuat Saya menumpuk kebohongan-kebohongan serta
topeng-topeng yang semakin lama semakin membuat Saya membenci diri saya
sendiri. saya ingin mencurahkan keluh kesah Saya kepada siapapun, tapi dimasa
itu.. Saya menyadari bahwa Saya benar-benar seorang diri. Banyaknya sahabat-sahabat
saya yang dulu setia di samping Saya dan mendukung Saya membuat saya menganggap
remeh setiap masalah. Tapi, saat satu persatu mereka mulai pergi dan punya
masalah masing-masing.. Saya mulai menyadari bahwa Saya benar-benar sendiri dan
tidak bisa lagi bergantung kepada siapapun.
Menulis, satu-satunya
kebanggaan rahasia yang Saya cintai itu—mulai menjadi pelarian saat Saya sedang
jatuh karena masalah-masalah di arsitektur. Lambat laun, kecintaan Saya
terhadap tulisan justru semakin berkembang. Bahkan, Saya sangat gemas ingin tau
lebih dalam mengenai ilmu menulis. Saya juga semakin sering mengandai-andai
jika saja Saya masuk Sastra Indonesia. Saya sangat ingin bertemu dengan
orang-orang yang memiliki kemampuan menulis lebih dari Saya dan belajar
darinya. Impian Saya mengenai dunia tulis menulis semakin terasa kuat dan Saya
menjadi lebih berambisi. Saya pun menyadari bahwa hasrat ini bukan lagi tentang
bagaimana Saya bisa kabur dari dunia arsitektur, melainkan bagaimana caranya
agar Saya bisa benar-benar belajar mengenai bahasa dan menulis.
Saya tidak lagi hanya
ingin berlari untuk pergi dari tanggung jawab. Saya mulai berlari untuk
mengejar impian Saya.
Akhirnya—setelah
keterpurukan hampir dua tahun lamanya—saya bangkit. Dirundung kesadaran akan
batas waktu yang pasti semakin lama semakin dekat, Saya membangun kembali
keberanian Saya dan mengambil resiko besar dengan bolos UAS Perkembangan
Arsitektur dan diam-diam mengambil tes masuk Universitas Negeri Jakarta karena
pada saat itu, Universitas Negeri di Jakarta yang memiliki jurusan sastra
Indonesia dan masih membuka jalur pendaftaran hanyalah UNJ saja.
Mengikuti tes tersebut
tidak mudah. Background Saya yang
berasal dari jurusan arsitektur dan jurusan Saya di SMA yang merupakan jurusan
IPA membuat langkah Saya terasa berat. Saya pun hanya mendapatkan waktu dua
minggu untuk belajar habis-habisan secara diam-diam, itupun terpotong sekitar
lima hari karena Saya jatuh sakit tifus untuk pertama kalinya. Dalam jangka
waktu sekitar 3 hari setelah agak baikan, Saya mengikuti tes mandiri UNJ
seorang diri dan memasrahkan semuanya pada Allah.
Lalu setelah
memperjuangkan segalanya sendirian, Allah yang Maha Baik mengatakan kepada Saya
bahwa jalan inilah yang terbaik. Allah mengatakannya lewat pengumuman kelolosan
tes mandiri UNJ. Dan setelah melalui sesi kejujuran dengan orangtua, Saya
akhirnya resmi menjadi mahasiswa sastra Indonesia UNJ.
Bunda, setelah melalui
banyak hal yang sangat berbeda dengan kehidupan Saya dari sebelum lulus SMA
sampai kebelakang, Saya menjadi sangat bersyukur. Melalui masalah terbesar
dalam hidup Saya dan telah menyelesaikannya dengan keputusan yang berani, level
kedewasaan Saya jadi bertambah tinggi. Selain itu, walaupun baru sekitaran tiga
kali Saya belajar efektif sebagai seorang mahasiswa sastra Indonesia, entah
kenapa segalanya terasa lebih benar. Rasanya begitu lega dan Saya perlahan
mulai kembali mengapresiasi diri saya sendiri dan percaya diri. Saya mencintai
keputusan Saya dengan segala konsekuensinya. Walaupun ini semua baru awal, tapi
Saya tau bahwa tidak pernah dalam hidup Saya.. Saya merasa sebegini tidak
sabarnya mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi dan masalah-masalah yang akan
Saya hadapi nantinya. Yang berarti baik. Untuk saat ini, Saya Hanya bisa
berharap semoga perasaan ini terasa sampai nanti.
Begitulah kisah sekilas
tentang impian Saya, Bunda.. terima kasih karena mau membaca kisah singkat ini.
Semoga Bunda Helvy dan keluarga selalu dilindungi dan dirahmati oleh Allah SWT,
aamiin...
Wassalamu’alaikum,
Bunda Helvy...
Semoga sukses ya upit, atas segala pilihan yang udah diambil 😊
BalasHapushttps://plus.google.com/102432264335553317319/posts/FUSnpAz468g
BalasHapus