Sabtu, 26 November 2016

Langkah Kedewasaan

Dari: Mufidah Nur Azizah
Untuk: Bunda Helvy Tiana Rosa

Bismillah…
Assalamu’alaikum Bunda Helvy.
Sebelum menyampaikan beberapa patah kata mengenai hidup versi Saya, Saya akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Bunda, nama saya Mufidah Nur Azizah atau yang sahabat-sahabat dekat saya biasa panggil dengan sebutan Upit. Tapi, sekarang Saya hampir selalu memperkenalkan diri Saya dengan nama Mufi. Saya lahir di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1996. Jadi, kini Saya hampir genap berusia 20 tahun.
Secara umum, sifat Saya dapat dijabarkan sebagai anak yang pemalas, menggampangkan segala urusan, sangat berketergantungan pada orang lain, sensitif, dan jarang sekali serius memikirkan masa depan Saya. Hidup berkecukupan dan perlakuan orangtua terhadap Saya membuat Saya terlena. Saya punya impian, tapi Saya tidak pernah benar-benar memperjuangkannya di luar kepala. Ya, saya hanya sibuk bermimpi. Saya sibuk bervisi sampai tidak pernah Saya susun misi untuk meraih visi tersebut, apalagi melaksanakannya.
Impian Saya hanyalah satu. Saya hanya ingin menjadi seorang penulis. Tapi, saat kedua orangtua Saya menentangnya, Saya terlalu manut dan lantas menurut. 2014 saat saya lulus dari SMA dan mencari perguruan tinggi, Ayah menyetir Saya agar Saya masuk ke jurusan arsitektural di sebuah kampus swasta di Jakarta. Saat itu, sempat Saya menolak dan menyampaikan keinginan Saya untuk masuk ke jurusan Sastra Indonesia. Namun, ucapan Ayah yang merendahkan jurusan itu lantas menyiutkan nyali Saya hanya dalam hitungan menit. Hingga akhirnya Saya mengiyakan keinginan Ayah saya dan resmi menjadi seorang mahasiswa jurusan arsitektur.
Tanpa kemauan, tanpa kecintaan, tanpa tujuan yang pasti, dan dengan penuh keterpaksaan Saya menjalani kisaran 2 tahun potong masa dalam hidup Saya dijurusan arsitektur.
Tapi ternyata, arsitektur sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Ditahun pertama pun, Saya sudah merasa hampir putus asa dan goyah. Ucapan-ucapan dari para dosen dan senior pun terus menghantui Saya. Mereka terus-menerus mewanti-wanti Saya untuk secepatnya keluar dari jurusan itu karena mereka tau persis dalih Saya untuk masuk ke jurusan itu sangatlah lemah. Hanya karena ayah Saya menginginkannya.
Lalu, ketika mulai akhir tahun 2015, Saya semakin kacau karena semakin jauhnya hidup Saya dari harapan Saya sendiri. Terasa sangat begitu sulitnya untuk menjadi diri sendiri dan mencintai impian Saya sendiri. Kata-kata penghibur dari saya dan untuk saya sendiri seperti, “pokoknya lo lulus aja secepatnya. Setelah lulus, lo bebas jadi penulis.” Itu mulai tidak bekerja. Saya semakin gelisah karena terlepas dari impian Saya yang berbeda dengan studi Saya, Saya pun mulai mengkhawatirkan cara Saya untuk lulus. Saya mulai meragukan kemampuan Saya sendiri karena setelah tiga semester—mengambil cukup banyak mata kuliah mengenai arsitektural—Saya tetap merasa payah dan tidak bisa apa-apa dibandingkan teman-teman Saya di arsitektur. Saya semakin tidak percaya diri dan kehilangan identitas diri.
Masa itu merupakan masa jatuhnya Saya yang paling dalam selama 20 tahun Saya hidup. Karena Saya terjebak sendiri disebuah dunia yang asing dan tidak Saya inginkan. Namun, Saya sangat tidak berdaya karena telah terlanjur memikul amanat orangtua untuk menjadi anak yang sukses. Mereka secara konsisten menanyakan perkembangan Saya di arsitektur dan membuat Saya menumpuk kebohongan-kebohongan serta topeng-topeng yang semakin lama semakin membuat Saya membenci diri saya sendiri. saya ingin mencurahkan keluh kesah Saya kepada siapapun, tapi dimasa itu.. Saya menyadari bahwa Saya benar-benar seorang diri. Banyaknya sahabat-sahabat saya yang dulu setia di samping Saya dan mendukung Saya membuat saya menganggap remeh setiap masalah. Tapi, saat satu persatu mereka mulai pergi dan punya masalah masing-masing.. Saya mulai menyadari bahwa Saya benar-benar sendiri dan tidak bisa lagi bergantung kepada siapapun.
Menulis, satu-satunya kebanggaan rahasia yang Saya cintai itu—mulai menjadi pelarian saat Saya sedang jatuh karena masalah-masalah di arsitektur. Lambat laun, kecintaan Saya terhadap tulisan justru semakin berkembang. Bahkan, Saya sangat gemas ingin tau lebih dalam mengenai ilmu menulis. Saya juga semakin sering mengandai-andai jika saja Saya masuk Sastra Indonesia. Saya sangat ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki kemampuan menulis lebih dari Saya dan belajar darinya. Impian Saya mengenai dunia tulis menulis semakin terasa kuat dan Saya menjadi lebih berambisi. Saya pun menyadari bahwa hasrat ini bukan lagi tentang bagaimana Saya bisa kabur dari dunia arsitektur, melainkan bagaimana caranya agar Saya bisa benar-benar belajar mengenai bahasa dan menulis.
Saya tidak lagi hanya ingin berlari untuk pergi dari tanggung jawab. Saya mulai berlari untuk mengejar impian Saya.
Akhirnya—setelah keterpurukan hampir dua tahun lamanya—saya bangkit. Dirundung kesadaran akan batas waktu yang pasti semakin lama semakin dekat, Saya membangun kembali keberanian Saya dan mengambil resiko besar dengan bolos UAS Perkembangan Arsitektur dan diam-diam mengambil tes masuk Universitas Negeri Jakarta karena pada saat itu, Universitas Negeri di Jakarta yang memiliki jurusan sastra Indonesia dan masih membuka jalur pendaftaran hanyalah UNJ saja.
Mengikuti tes tersebut tidak mudah. Background Saya yang berasal dari jurusan arsitektur dan jurusan Saya di SMA yang merupakan jurusan IPA membuat langkah Saya terasa berat. Saya pun hanya mendapatkan waktu dua minggu untuk belajar habis-habisan secara diam-diam, itupun terpotong sekitar lima hari karena Saya jatuh sakit tifus untuk pertama kalinya. Dalam jangka waktu sekitar 3 hari setelah agak baikan, Saya mengikuti tes mandiri UNJ seorang diri dan memasrahkan semuanya pada Allah.
Lalu setelah memperjuangkan segalanya sendirian, Allah yang Maha Baik mengatakan kepada Saya bahwa jalan inilah yang terbaik. Allah mengatakannya lewat pengumuman kelolosan tes mandiri UNJ. Dan setelah melalui sesi kejujuran dengan orangtua, Saya akhirnya resmi menjadi mahasiswa sastra Indonesia UNJ.
Bunda, setelah melalui banyak hal yang sangat berbeda dengan kehidupan Saya dari sebelum lulus SMA sampai kebelakang, Saya menjadi sangat bersyukur. Melalui masalah terbesar dalam hidup Saya dan telah menyelesaikannya dengan keputusan yang berani, level kedewasaan Saya jadi bertambah tinggi. Selain itu, walaupun baru sekitaran tiga kali Saya belajar efektif sebagai seorang mahasiswa sastra Indonesia, entah kenapa segalanya terasa lebih benar. Rasanya begitu lega dan Saya perlahan mulai kembali mengapresiasi diri saya sendiri dan percaya diri. Saya mencintai keputusan Saya dengan segala konsekuensinya. Walaupun ini semua baru awal, tapi Saya tau bahwa tidak pernah dalam hidup Saya.. Saya merasa sebegini tidak sabarnya mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi dan masalah-masalah yang akan Saya hadapi nantinya. Yang berarti baik. Untuk saat ini, Saya Hanya bisa berharap semoga perasaan ini terasa sampai nanti.
Begitulah kisah sekilas tentang impian Saya, Bunda.. terima kasih karena mau membaca kisah singkat ini. Semoga Bunda Helvy dan keluarga selalu dilindungi dan dirahmati oleh Allah SWT, aamiin...
Wassalamu’alaikum, Bunda Helvy...

2 komentar:

  1. Semoga sukses ya upit, atas segala pilihan yang udah diambil 😊

    BalasHapus
  2. https://plus.google.com/102432264335553317319/posts/FUSnpAz468g

    BalasHapus