Kamis, 15 September 2016

Ibarat Bagi Kita

Seibarat pahitnya secangkir kopi yang ku sesap pagi tadi
Aromanya berbohong padaku
Kemudian mengenyah
Tapi, ku sesap juga
Menikmati sepat yang menari dalam lidah
Pahitnya larutan bubuh kopi yang membuatku tersadar
Bahwa manusia begitu naifnya

Pun.
Seibarat air yang meresap memberi jiwa pada bungaku
Mengapa air masih saja mau?
Mencintai bunga sebegitu dalamnya
Memekarkan pesonanya tanpa harga apapun
Sedangkan yang ia dapat hanyalah kemusnahan?

Lalu,
Seibarat daun yang mau saja menari bersama anginnya
Menikmati dentuman waktu menuju mautnya
Mencintai angin begitu dalam
Yang justru memberinya jalan menuju wangi tanah
Membusuk dalam kesendirian
Mati di bumi

Seibarat itu
Cinta memang tak pernah berjalan di atas logika
Seumpama itu
Sadarku bangkit dan tertawa pilu
Pahit, bukan?

Jadi, bukankah kita pun sama?
Dan bukankah rasaku dalam bisuku adalah kenaifan pula?
Bukankah..
Kita hanyalah pilinan rasa semu?
Yang berujung pada ambiguitas tanpa penyelesaian?
Tapi,

Mengapa mencintaimu masih saja terasa benar..?

Sabtu, 10 September 2016

Daun


Teruntuk angin,
Mengapa masih saja ku relakan diriku? Membiarkanmu mengombang-ambingku tanpa ampun, merusak beberapa bagian dariku yang rapuh dan begitu tidak berdaya? Tapi mengapa bersamamu masih saja terasa benar?
Teruntuk angin,
Ku biarkan lajumu menghempasku kesana kemari dalam balutan rasa yang tak adil. Ku biarkan aku menikmati siksamu pada sekeping aku. Ku biarkan  kau merobek dan merusaknya tanpa ampun.
Teruntuk angin,
Masih saja tak pernah kau tau betapa aku masih menari tanpa arah demi seorang kamu. Masih saja aku mengikuti arahmu berlari walaupun aku tau bahwa dipenghujung kisah ini, hanya akan ada aku yang membusuk di atas tanah. Sendirian, tanpa sempat kau balas tulusku.
Teruntuk angin..
Aku masih mencintaimu walaupun kau tak menyadari bahwa aku—sepotong daun yang menunggu busuknya—menatapmu dengan penuh harap dari jauh, menyayangimu dalam bisuku. Menunggu hal indah yang tak pernah pasti akan terjadi kapan, atau apakah benar-benar akan terjadi. Aku masih merindukanmu dalam tarianku bersamamu, mencintaimu sedalam ini walaupun tau akhir yang akan ku hadapi jika tetap melakukannya. Mendukungmu, mengikuti arah pandangmu, kemana pun, dimana pun, demi seorang kamu.
Teruntuk angin,
Aku mungkin hanyalah selembar daun kecokelatan yang lusuh dan tak berdaya. Tapi, aku mencintaimu dalam do’aku, melebihi siapa pun.