Rabu, 09 Mei 2018

INFINITE OT7 Part II


Hampir tiga tahun silam, aku masih menekuk lutut dalam kegelapan di kamar sempitku yang sesak. Padahal tak ramai. Hanya ada aku serta bertumpuk kertas gambar beraneka jenis dan ukuran, yang kesemuanya sudah habis kucoreti oleh denah gagalku.
Aku membekap diri sambil menghela nafas berulang kali dan pada setiap hembusnya, air mataku jatuh. Menitik secara dramatis.
Lalu lagi-lagi, aku akan dengan kasar membuang lembaran kertasku dan beralih pada buku mungil dan bolpoin kesayanganku, hanya untuk menulis.
Bukan dengan rotring, tinta, pensil mekanik 0.7 HB, penggaris 100 cm, kertas gambar A2, serta alat lainnya yang biasa kugunakan untuk menggambar. aku hanya butuh secarik kertas kecil dengan bolpoin sederhana untuk menjadi bahagia.
Meski, rasanya tetap salah.
Mei 2015.
Aku menemukan tujuh orang hebat—INFINITE—yang aku sayangi hingga hari ini. Satu di antaranya punya kisah menarik yang ia bagi.
Lee Howon mengajariku tentang asa. Saat mendengar ceritanya mengenai bagaimana ia dihapuskan Namanya dari pohon keluarga karena memilih untuk mengejar impiannya, meski beberapa kali dipukuli oleh kayu bahkan ketika bekunya suhu di musim bersalju, dengan baju basah karena keringat—bukti betapa kerasnya ia berlatih, hingga dengan berani memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya hanya karena ingin fokus belajar menari dan bernyanyi, aku terkesiap.
Jujur, aku merinding.
Menilai betapa anehnya manusia satu ini. Memikirkan bagaimana bisa seseorang tetap hidup setelah menjalani keputusan seberat itu ditambah dengan konsekuensi dalam paket yang sama dengan pilihan hidupnya. Dan telak, aku lantas membandingkan situasinya dengan diriku di waktu itu.
Aku ingin menjadi seorang Lee Howon—yang berani mengejar dan berhasil menggapai impiannya meski tak ayal diterpa gunjingan, dianggap egois, dan menjadi “orang jahatnya” akibat asanya sendiri. Ia tetap teguh tak karam meski dikecilkan, dibuang, dan dianggap tak ada bahkan oleh ayahnya sendiri… hanya karena ingin bahagia.
Aku ingin menjadi seperti seorang Lee Howon.
9 Juni 2015.
He said, that, “The average person dies at 25, but is buried at 70.”
Kakakku pernah bilang bahwa impian, harapan, cita-cita, atau asa, adalah hal yang membuat manusia dapat dikatakan “hidup”. Then it feels so clicked. Aku langsung memahami bahwa makna dari ucapan Howon mengenai kematian di usia 25 tahun adalah bukan kematian sesungguhnya.
Kebanyakan atau rata-rata manusia akan berhenti bermimpi pada usia 25 tahun. Mereka berhenti untuk menjadi “naif” dan memilih untuk lebih realistis ketika menginjak usia tersebut. Yang artinya, mereka sudah tidak punya impian apapun selain “mencari posisi aman” agar tetap “hidup” seadanya. Dan mereka akan benar-benar mati saat sekitar usia 70 tahun. Jangka waktu yang panjang untuk menjadi kritis sebelum memeluk kematian yang sebenarnya.
And he said, “I wanted to say this because I am 25 now. I personally hope I wouldn’t die before I get buried.  I am talking about my dreams and passion.”
Ucapan itu membuatku terhenyak karena sungguh, kata-katanya menamparku begitu keras. Sebab aku ini siapa? Aku adalah seseorang yang telah mati dalam usia yang lebih muda dari 25 tahun, saat itu. Aku telah kehilangan impian dan kecintaanku hanya untuk menjadi realistis dan membahagiakan orang lain.
Sungguh, aku telah menjadi egois pada diriku sendiri.
Maka, Agustus 2016.
Lee Howon memberiku inspirasi, motivasi, sekaligus kekuatan. Kuputar ulang seluruh kisahnya dalam setiap langkah berani yang mulai kuambil untuk mengubah hidupku yang hampir mati tanpa tujuan berarti. Kutanamkan segala keberanian yang mungkin juga pernah ia genggam erat sebelum mengambil sebuah keputusan besar untuk menjadi “egois”, untuk meraih cita-citanya. Aku pergi secara tahap per tahap dari jalan hidup yang tidak aku harapkan.
Butuh waktu satu tahun bagiku untuk menjadi benar-benar yakin. Tapi setiap harinya, Lee Howon telah memberikan cahaya baru dalam hidupku.
Hingga akhirnya, berhasil kubuang segala hal yang berbau “gambar”, kubekap segala hal yang berbau “tulisan”. Seolah membuka kembali tiap lembar catatan mengenai asaku yang sempat kukubur dalam-dalam.
Lee Howon menguatkanku.
28 Agustus 2016.
Things will never get any better until I found what I really want for my life.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, sudah berlalu dua tahun lamanya menjadi aku sebagai seorang mahasiswa jurusan Arsitektur. Melewati tahun kedua yang penuh dengan drama saat semuanya terasa salah karena aku melangkah semakin jauh dari tujuanku yang asli. Setiap harinya hanya ada penyesalan dan tak ayal, saat semuanya terasa begitu salah dan kita tetap harus menjalani hidup… aku pun pernah menjadi “mati” pada dua tahun terakhir itu.
Dan jika kembali mengenang hari-hari dramatis yang kulalui selama setahun belakangan… aku masih saja menangis seorang diri lagi. Di kamar yang sama.
Tapi hari ini, aku telah berani menganggapnya sebagai sebuah kenangan. Dan aku termangu sejenak setelah menyaksikan lagi masa-masa tersuram dalam hidupku saat merenung. Perlahan, kupegang penaku, kurapatkan tubuhku menuju meja kerjaku, dan memandangi kertas kecil berwarna putih untuk menulis.
Ya, aku menulis.
Melakukan satu-satunya hal yang paling aku cintai tanpa mengindahkan ketakutanku lagi. You know, Lee Howon mengajariku bahwa…
As you get older, you begin to realize that there are many other things which you should be prioritized beside your dreams.
It is okay to admit your defeat. It is okay to lessen your dreams. Be more realistic. Because that is the part of maturity.
But, don’t give up on it!
If it’s something important that called dreams, then don’t lose it!
Because dream is the part of yourself. Dream is the depiction of who you are and who you want to be.
Setelah melalui masalah terbesar dan terberat dalam hidupku dan telah menyelesaikannya dengan keputusan yang berani, perlahan aku dapat mulai mengapresiasi diri dan merasa percaya akan kebaikan Tuhan. Aku mencintai keputusanku dengan segala konsekuensi yang menungguku. Dan aku bangga pada diriku yang bisa bangkit dan bersyukur.
Semua itu karena Lee Howon—dan enam orang lainnya, yakni Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong.
Oleh karena itulah, pada Agustus 2017.
Howon-ah,
August 30, to be exact. Aku tahu, entah mengapa aku tahu. Setelah hiatus hampir setahun lamanya, aku selalu tahu hari itu aku datang. Hari di mana konfirmasi agensi atas kepergianmu dari INFINITE, pasti akan tiba. Aku selalu mendapatkan firasat mengenai segala hal yang berkaitan dengan kalian bertujuh. Dan aku benar.
Lantas, aku bisa apa?
Aku hanya menangis selama tiga hari lamanya. Tepatnya, tiga hari terakhir sebelum hari kuliah pertamaku di semester tiga sebagai mahasiswa jurusan Sastra.
Tapi, lagi, aku bisa apa?
Aku ingin tetap memanggilmu sebagai “INFINITEs Hoya”.  Dua tahun telah berlalu sejak kali pertama aku jatuh hati padamu. Dan saat itu, aku sudah tidak mencintaimu lagi hanya sebagai “member” INFINITE. Aku menyayangi setiap member sebagai seorang Kim Sunggyu, Jang Dongwoo, Nam Woohyun, Lee Howon, Lee Sungyeol, Kim Myungsoo, dan Lee Sungjong. Jadi, aku bisa apa selain tetap mencintaimu hingga hari ini?
Sebab aku yang paling tahu, aku yang paling memahami. Aku pernah mengambil keputusan yang sama, dan aku yang paling mengerti rasanya. Bahwa mengambil keputusan seberat itu, bukanlah sesuatu yang mudah. Bahwa ada banyak kekhawatiran dan pengorbanan yang pasti merundungimu dan kau lakukan pada tiap waktu sebelum eksekusi terakhir itu. Bahwa tidak benar dan tidak adil rasanya jika aku menilaimu sebagai seseorang yang telah membuang aku—sebagai fans—hanya karena kamu ingin menjadi benar-benar bahagia.
Ada konsekuensi baru yang menanti, ada jalan buram yang belum kau adaptasi. Tapi, kau memilih untuk keluar dari posisi yang telah kau kerjakan sepenuh hati tanpa pernah mengecewakan kami (Inspirit) selama tujuh lamanya, keluar dari posisi yang telah memberimu rasa aman dan menawarkan stabilitas yang menggiurkan. Itu buruk; itu perasaan paling membingungkan dan menyesakkan. Dan akan egois rasanya jika aku mengasumsikan niatanmu.
Satu per satu pro dan kontra silih berganti kusaksikan, perlahan kusangsikan. Akhirnya, aku tidak peduli lagi.
Aku tahu kau ingin menjadi bahagia. Kau melakukan sebuah tindak keberanian lagi, dan aku bangga padamu. Jadi, Howon-ah, kuputuskan untuk memahamimu karena akulah yang seharusnya paling mengerti. Tetaplah berkarya, jadilah dirimu sendiri. Berbahagialah. Aku di sini akan terus mendukungmu, persis seperti apa yang telah kau lakukan padaku dan untukku selama tiga tahun ini setelah aku mengenalmu.
Apa yang kulakukan ini, tidak akan sebanding dengan pengaruhmu yang begitu besar dalam mengubah hidupku.
Tapi, aku tidak akan berhenti untuk percaya dan bangga padamu.
Selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar