Teruntuk angin,
Mengapa masih saja ku relakan diriku? Membiarkanmu mengombang-ambingku
tanpa ampun, merusak beberapa bagian dariku yang rapuh dan begitu tidak
berdaya? Tapi mengapa bersamamu masih saja terasa benar?
Teruntuk angin,
Ku biarkan lajumu menghempasku kesana kemari dalam balutan
rasa yang tak adil. Ku biarkan aku menikmati siksamu pada sekeping aku. Ku biarkan
kau merobek dan merusaknya tanpa ampun.
Teruntuk angin,
Masih saja tak pernah kau tau betapa aku masih menari tanpa
arah demi seorang kamu. Masih saja aku mengikuti arahmu berlari walaupun aku
tau bahwa dipenghujung kisah ini, hanya akan ada aku yang membusuk di atas
tanah. Sendirian, tanpa sempat kau balas tulusku.
Teruntuk angin..
Aku masih mencintaimu walaupun kau tak menyadari bahwa aku—sepotong
daun yang menunggu busuknya—menatapmu dengan penuh harap dari jauh,
menyayangimu dalam bisuku. Menunggu hal indah yang tak pernah pasti akan
terjadi kapan, atau apakah benar-benar akan terjadi. Aku masih merindukanmu
dalam tarianku bersamamu, mencintaimu sedalam ini walaupun tau akhir yang akan
ku hadapi jika tetap melakukannya. Mendukungmu, mengikuti arah pandangmu,
kemana pun, dimana pun, demi seorang kamu.
Teruntuk angin,
Aku mungkin hanyalah selembar daun kecokelatan yang lusuh dan
tak berdaya. Tapi, aku mencintaimu dalam do’aku, melebihi siapa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar