Sabtu, 10 September 2016

Daun


Teruntuk angin,
Mengapa masih saja ku relakan diriku? Membiarkanmu mengombang-ambingku tanpa ampun, merusak beberapa bagian dariku yang rapuh dan begitu tidak berdaya? Tapi mengapa bersamamu masih saja terasa benar?
Teruntuk angin,
Ku biarkan lajumu menghempasku kesana kemari dalam balutan rasa yang tak adil. Ku biarkan aku menikmati siksamu pada sekeping aku. Ku biarkan  kau merobek dan merusaknya tanpa ampun.
Teruntuk angin,
Masih saja tak pernah kau tau betapa aku masih menari tanpa arah demi seorang kamu. Masih saja aku mengikuti arahmu berlari walaupun aku tau bahwa dipenghujung kisah ini, hanya akan ada aku yang membusuk di atas tanah. Sendirian, tanpa sempat kau balas tulusku.
Teruntuk angin..
Aku masih mencintaimu walaupun kau tak menyadari bahwa aku—sepotong daun yang menunggu busuknya—menatapmu dengan penuh harap dari jauh, menyayangimu dalam bisuku. Menunggu hal indah yang tak pernah pasti akan terjadi kapan, atau apakah benar-benar akan terjadi. Aku masih merindukanmu dalam tarianku bersamamu, mencintaimu sedalam ini walaupun tau akhir yang akan ku hadapi jika tetap melakukannya. Mendukungmu, mengikuti arah pandangmu, kemana pun, dimana pun, demi seorang kamu.
Teruntuk angin,
Aku mungkin hanyalah selembar daun kecokelatan yang lusuh dan tak berdaya. Tapi, aku mencintaimu dalam do’aku, melebihi siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar