Jumat, 17 Juni 2016

Seorang Aku

Pengen, gitu.. menjadi seorang “Upit”—lagi. Yang kekanakannya over dose. Yang bisa sebebasnya mengekspresikan kebahagiaan maupun kesedihan tanpa beban. Yang nggak fake. Yang nggak sesuram ini.
Ya, intinya malam ini.. aku kangen pribadiku yang dulu.
Seorang aku yang punya begitu banyak orang di sekelilingku yang mengikuti demi melihat tawaku, demi mendengar leluconku. Seorang aku yang bisa tertawa terbahak-bahak hingga hampir habis nafasku dan sampai kakunya otot perutku. Seorang aku yang selalu bisa memperlihatkan kesedihanku dengan baik. Aku, yang saat sedang bersedih atau marah.. semua orang yang memandangku bisa memahami dan mengerti. Membaca dengan jelas sedang dimana parameter mood-ku berhenti. Seorang aku yang tidak terlihat sekuat ini diluar.
Entah sejak kapan.. aku baru ini menyadari bahwa.. aku tidak pernah lagi tertawa dengan tulus. Aku tidak pernah lagi menceritakan pengalaman keseharianku dengan bebas seperti dulu, yang tidak pernah peduli apakah pengalamanku itu benar-benar bernilai untuk dibicarakan atau tidak. Tidak peduli apakah orang yang mendengarkanku akan bosan atau tidak. Apakah pengalamanku ini benar-benar lucu atau tidak. Entah sejak kapan.. aku menyadari bahwa seorang aku kini tidak pernah lagi tertawa hingga hampir habis nafasku. Tawaku hanyalah sebuah formalitas saat mendengar lelucon seseorang yang ditertawai oleh banyak orang lainnya. Aku yang sekarang hanya seorang pendiam yang mengikuti arus. Entah sejak kapan.. aku menyadari bahwa tidak pernah aku tidak menyetujui pendapat oranglain. Tidak pernah aku mengatakan suatu hal yang akan menyakiti oranglain ataupun menentang pemikiran oranglain. Aku menjadi sejalan dengan kebanyakan manusia normal di sekitarku. Dan baru aku sadari.. bahwa hidupku membosankan.
Aku sekarang.. mungkin terlihat sebagai seorang baikhati yang hanya melepaskan topengnya di rumahku. Dan total melepaskan tipuku saat duduk menekuk lutut, menulis kalimat-kalimat yang tadinya tergambar kepalaku.. di dalam sebuah kotak kecil bernama kamar, sendirian. Seperti malam ini. Hanya disini.. aku bisa menjadi aku.
Entah sejak kapan.. dunia nyataku mengecil sebegininya.
Beberapa hari ini aku bertanya-tanya.. apa yang salah? Darimana ini semua bermula? Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Kurunan tahun dalam tiga per dua bagian dari hidupku.. aku menjadi seseorang bernama ‘Upit’. Dan hanya dalam waktu kurang dari tiga tahun dalam hidupku.. aku berubah menjadi seseorang yang asing. Seseorang yang membosankan. Yang hidup dalam arus. Yang sibuk mengenakan topeng. Bersandiwara. Yang bahkan aku sendiri pun tidak mengenalnya.
Ahya, makanya.. ku nikmati kesendirianku berjalan pulang, berdiri di dalam kotak gerbong. Memandang rumah-rumah penduduk, jalanan, maupun manusia yang ku lewati sekilas. Sambil membiarkan isi kepalaku meliar. Dan berusaha hidup dalam lamunan. Menghindari kunci tatapan dengan oranglain agar tidak harus dengan repotnya ku tarik otot wajahku untuk ku buat raut senyuman.
Apa yang salah? Sejak kapan? Bagaimana bisa?
Saat sibuknya aku mencari jawaban.. baru saja tadi.. aku menyadari bahwa aku sendiri. Dan mungkin, arah ini terjadi sejak kesendirianku ku nikmati saja. Saat perlahan tanpa sadar.. ku bangun penolakan terhadap manusia baru maupun ruang baru. Saat tanpa sadar, seringkali aku berusaha menjauh dari orang-orang yang membuka lengannya untuk mengajakku masuk. Saat tanpa ku ketahui.. lama-lama aku semakin sendiri dan tidak punya siapapun lagi.
Dan malam ini, aku merindukan seorang ‘Upit’. Aku merindukan tawaku yang aku banggakan. Aku merindukan lantangnya suaraku saat menceritakan berbagai macam hal tentang pengalamanku. Aku merindukan debaran jantungku saat berusaha dengan keras agar diterima oleh lingkungan yang baru. Aku merindukan pikiran naifku saat banyak orang berusaha berbaik hati padaku. Aku juga merindukan saat dimana bisa bebas aku menghardik seseorang. Aku rindu memberi tanda pada dunia bahwa perasaanku sedang tidak baik. Aku rindu bermusuhan dengan sahabatku dan diam-diam bersedih di rumah karena kita berjauhan. Aku rindu mengungkapkan perasaan sebalku dengan bebas walaupun berakhir dengan masalah lainnya. Aku rindu.
Aku hanya merindukan masa lalu.
Aku hanya merindukan suasana dulu.

Aku hanya merindukan diriku.

1 komentar:

  1. Itu artinya kamu sedang berproses menuju kedewasaan. Semakin dewasa orang, semakin banyak kekhawatiran yg ia miliki.

    Semangat mufidah ^^

    BalasHapus