Selasa, 01 Maret 2016

Teruntuk: Mama

Oh Tuhanku.. malam ini, terima kasih karena telah memberikan kesempatan bagiku untuk bersyukur dengan tulus. Mensyukuri seseorang yang Engkau tempatkan untuk berada disisi terdekatku. Sejak aku lahir hingga aku sebesar ini.
Mensyukuri keberadaan seorang ibu yang biasa aku panggil dengan sebutan mama itu.
Mama.. bukan tipikal seorang ibu yang bisa berkata lembut pada anaknya. Bukan tipikal seorang ibu yang bangun terlalu pagi demi menyiapkan sarapan khusus untuk anak-anak dan suaminya, ataupun menyiapkan bekal lauk-pauk disebuah kotak makanan seperti seorang ibu kebanyakan. Ia juga bukan tipikal seorang ibu yang menyambutku dengan hangat setiap aku pulang ke rumah. Bukan pula tipikal seorang ibu yang rajin menanyakan keadaanku atau perasaanku. Atau mungkin memintaku untuk menceritakan masalah-masalahku padanya agar aku bisa merasa lebih baik.
Mamaku bukanlah sosok seorang ibu yang sempurna bagi standarisasi kebanyakan orang.
Mama punya khas nada suaranya yang tinggi saat berbicara. Membuat kebanyakan orang salah memahami maksudnya atau niat baik yang terkandung dari tiap-tiap perkataannya. Pun, aku yang dulu.
Dulu sekali. Aku tau ada yang berbeda antara mamaku dengan ibu-ibu lainnya. Aku tau ada yang salah saat aku memperhatikan sekitarku dan mendapati aku sendirian sementara kebanyakan anak-anak lainnya akan berangkat dan pulang sekolah didampingi oleh sosok seorang ibu. Aku tau ada yang berbeda saat mendapati situasi dimana teman-temanku bisa menangis sepuasnya dan mengadu pada masing-masing ibunya. Kemudian ibunya—bak pahlawan—akan mati-matian membela anaknya. Sementara aku, hanya bisa mencari sebanyak-banyaknya teman untuk menjadi tameng pelindung dikala aku sedang bermasalah dengan anak-anak lainnya. Aku tau mamaku berbeda. Dan aku tidak menyukai keadaan itu.
Aku yang dulu.. sama sekali belum mengetahui apapun tentang betapa sebenarnya.. mamaku adalah ibu terbaik diduniaku sendiri.
Dan malam ini.. saat aku menyadari keberadaan titik dewasaku.. aku pun menyadari betapa hebatnya mama. Dengan perjuangannya dan kecintaannya pada anak-anaknya. Tentang kesabarannya menghadapi berbagai macam masalah yang ia tanggung sendiri demi anak-anaknya yang tidak pernah sekalipun mengatakan bahwa ia adalah ibu terbaik—disaat pada kenyataannya, dia adalah yang terbaik. Tentang kehebatannya dan kuatnya hati serta tekadnya dalam memperjuangkan masa depan anak-anaknya yang malah urung untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri.
Aku pernah.. dan ingat dengan jelas.. bahwa aku pernah melakukan dosa itu. Saat tak pelak aku runtut semua kegagalannya sebagai seorang ibu. Saat hilangnya maluku dan besarnya kepalaku, menganggap semua nilaiku untuk mama adalah kebenaran. Bahwa ia memang telah gagal menghadapiku.
Dan teruntuk, mama.
Ma.. akulah yang selalu gagal menghadapimu. Akulah yang gagal sebagai anakmu. Dan baru malam ini aku mengaku. Bahwa aku menyesal tidak membahagiakanmu lebih awal. Bahwa aku menyesal tidak mengakuimu sebagai satu-satunya orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Ma.. jika aku pernah mengaku bahwa aku bisa menjadi diriku sendiri hanya jika bersama dengan sahabat-sahabatku.. hal yang sebenarnya paling penting adalah bahwa aku.. menjadi seorang aku hari ini.. berkatmu.
Maaf karena terlalu sering membuatmu menangis diam-diam dalam sujudmu. Maaf karena selama 19 tahun mama memberikan semua yang mama punya untuk seorang anak yang seperti aku, dan aku belum pernah sedikitpun bisa benar-benar membalas jasamu. Maaf karena selalu gagal membuatmu bahagia dengan tulus. Dan membuatmu bersyukur karena telah mempunyai anak seorang aku.
Maaf karena selama ini sudah terlalu sering menyalahkanmu atas kegagalan-kegagalan hidup yang aku dapatkan. Yang sebenarnya hasil dari ulahku sendiri. Maaf, ma.

Maaf karena telah menjadi anakmu yang gagal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar