Oh Tuhanku.. malam ini, terima kasih karena telah memberikan
kesempatan bagiku untuk bersyukur dengan tulus. Mensyukuri seseorang yang
Engkau tempatkan untuk berada disisi terdekatku. Sejak aku lahir hingga aku
sebesar ini.
Mensyukuri keberadaan seorang ibu yang biasa aku panggil
dengan sebutan mama itu.
Mama.. bukan tipikal seorang ibu yang bisa berkata lembut pada
anaknya. Bukan tipikal seorang ibu yang bangun terlalu pagi demi menyiapkan
sarapan khusus untuk anak-anak dan suaminya, ataupun menyiapkan bekal lauk-pauk
disebuah kotak makanan seperti seorang ibu kebanyakan. Ia juga bukan tipikal
seorang ibu yang menyambutku dengan hangat setiap aku pulang ke rumah. Bukan pula
tipikal seorang ibu yang rajin menanyakan keadaanku atau perasaanku. Atau mungkin
memintaku untuk menceritakan masalah-masalahku padanya agar aku bisa merasa
lebih baik.
Mamaku bukanlah sosok seorang ibu yang sempurna bagi
standarisasi kebanyakan orang.
Mama punya khas nada suaranya yang tinggi saat berbicara. Membuat
kebanyakan orang salah memahami maksudnya atau niat baik yang terkandung dari
tiap-tiap perkataannya. Pun, aku yang dulu.
Dulu sekali. Aku tau ada yang berbeda antara mamaku dengan
ibu-ibu lainnya. Aku tau ada yang salah saat aku memperhatikan sekitarku dan
mendapati aku sendirian sementara kebanyakan anak-anak lainnya akan berangkat
dan pulang sekolah didampingi oleh sosok seorang ibu. Aku tau ada yang berbeda
saat mendapati situasi dimana teman-temanku bisa menangis sepuasnya dan mengadu
pada masing-masing ibunya. Kemudian ibunya—bak pahlawan—akan mati-matian
membela anaknya. Sementara aku, hanya bisa mencari sebanyak-banyaknya teman untuk
menjadi tameng pelindung dikala aku sedang bermasalah dengan anak-anak lainnya.
Aku tau mamaku berbeda. Dan aku tidak menyukai keadaan itu.
Aku yang dulu.. sama sekali belum mengetahui apapun tentang
betapa sebenarnya.. mamaku adalah ibu terbaik diduniaku sendiri.
Dan malam ini.. saat aku menyadari keberadaan titik dewasaku..
aku pun menyadari betapa hebatnya mama. Dengan perjuangannya dan kecintaannya
pada anak-anaknya. Tentang kesabarannya menghadapi berbagai macam masalah yang
ia tanggung sendiri demi anak-anaknya yang tidak pernah sekalipun mengatakan
bahwa ia adalah ibu terbaik—disaat pada kenyataannya, dia adalah yang terbaik. Tentang
kehebatannya dan kuatnya hati serta tekadnya dalam memperjuangkan masa depan
anak-anaknya yang malah urung untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri.
Aku pernah.. dan ingat dengan jelas.. bahwa aku pernah
melakukan dosa itu. Saat tak pelak aku runtut semua kegagalannya sebagai
seorang ibu. Saat hilangnya maluku dan besarnya kepalaku, menganggap semua
nilaiku untuk mama adalah kebenaran. Bahwa ia memang telah gagal menghadapiku.
Dan teruntuk, mama.
Ma.. akulah yang selalu gagal menghadapimu. Akulah yang gagal
sebagai anakmu. Dan baru malam ini aku mengaku. Bahwa aku menyesal tidak
membahagiakanmu lebih awal. Bahwa aku menyesal tidak mengakuimu sebagai
satu-satunya orang yang paling berjasa dalam hidupku.
Ma.. jika aku pernah mengaku bahwa aku bisa menjadi diriku
sendiri hanya jika bersama dengan sahabat-sahabatku.. hal yang sebenarnya
paling penting adalah bahwa aku.. menjadi seorang aku hari ini.. berkatmu.
Maaf karena terlalu sering membuatmu menangis diam-diam dalam
sujudmu. Maaf karena selama 19 tahun mama memberikan semua yang mama punya
untuk seorang anak yang seperti aku, dan aku belum pernah sedikitpun bisa
benar-benar membalas jasamu. Maaf karena selalu gagal membuatmu bahagia dengan
tulus. Dan membuatmu bersyukur karena telah mempunyai anak seorang aku.
Maaf karena selama ini sudah terlalu sering menyalahkanmu atas
kegagalan-kegagalan hidup yang aku dapatkan. Yang sebenarnya hasil dari ulahku
sendiri. Maaf, ma.
Maaf karena telah menjadi anakmu yang gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar